TEMPO Interaktif, Kabul - Tewasnya Ketua Dewan Tinggi Perdamaian Afganistan Burhanuddin Rabbani, 71 tahun, membuat proses pembicaraan damai di negara itu semakin sulit dicapai.
Ketua Senat Amerika Serikat di Komite Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry, menilai pembunuhan Rabbani merupakan kemunduran besar bagi terwujudnya perdamaian dan rekonsiliasi di Afganistan.
"Musuh-musuh Afganistan ingin menggunakan kematiannya dan serangan-serangan sebelumnya untuk membuat kawasan ini tidak stabil. Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi," ujar Kerry di Washington kemarin.
Sebuah serangan bom bunuh diri menewaskan Rabbani di rumahnya di Kabul sekitar pukul 6 sore pada Selasa lalu. Taliban kemarin mengaku bertanggung jawab atas aksi bom bunuh diri yang menewaskan mantan Presiden Afganistan itu.
"Mantan Presiden Rabbani adalah figur sejarah yang menentang Taliban pada 1990 dan yang melanjutkan upayanya sebagai Ketua Dewan Tinggi Perdamaian untuk mewujudkan perdamaian dan stabilitas," kata Kerry.
Dari London, Menteri Luar Negeri Inggris William Hague memuji Rabbani yang telah bekerja tanpa lelah membangun perdamaian dan keamanan untuk masa depan negara yang dilanda perang panjang ini.
"Kami percaya bahwa tidak ada jalan yang akan melemahkan tekad pemerintah Afganistan untuk melanjutkan upaya membangun perdamaian dan rekonsiliasi," kata Hague.
Adapun serangan terhadap Rabbani, ujar Hague, hanya dilakukan oleh orang-orang yang ingin menyebarkan kekerasan dan pertumpahan darah di Afganistan.
Analis dari Center for American Progress di Washington, Caroline Wadhams, menyatakan Dewan Perdamaian tampaknya tidak lagi efektif dan, di sisi lain, Rabbani dipandang beberapa orang sebagai rintangan dalam pengambilan keputusan karena dia sangat dibenci oleh Taliban.
Seorang mantan tentara Afganistan di Provinsi Parwan, Mirza Mohammad, 50 tahun, mengatakan pembunuhan terhadap Rabbani telah membawa kekacauan di Afganistan.
Mohammad, yang hadir saat pemberian penghormatan terakhir di rumah Rabbani kemarin, mengajak warga Afganistan untuk melakukan pemberontakan nasional. "Kami akan segera balas dendam. Pakistan di balik penyerangan ini," ucapnya.
BBC | THE GUARDIAN | REUTERS | ABC NEWS | MARIA RITA