TEMPO Interaktif, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri membantah bahwa dana hibah dari pemerintah Belanda untuk Desa Rawagede (saat ini berubah nama menjadi Balongsari) mengendap di Kementerian tersebut. "Dana harus diterima dalam bentuk on budget, tak boleh off budget," kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Reydonnyzar Moenek, dalam konferensi pers di kantornya, Jumat, 23 September 2011.
Artinya, kata dia, dana tersebut masuk dalam pencatatan APBN. "Dan akhirnya, tertanggal 11 Agustus 2011, baru terbit pengesahan DIPA oleh Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan," ujarnya.
Menurut dia, saat ini transfer dana hibah memiliki mekanisme berbeda dengan dulu. Dana hibah dari luar negeri yang masuk ke setiap kementerian harus tercatat di Daftar Isian Anggaran (DIPA) kementerian terkait. Proses ini tentu juga berlaku di Kementerian Dalam Negeri.
"Karena hibah ini government to government, dia harus masuk dalam pencatatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini dimaksudkan agar penggunaannya transparan, akuntabel, efektif, dan memang tepat sasaran," kata dia.
Sebelumnya, keluarga korban pembantaian tentara Belanda di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, mempertanyakan dana hibah dari pemerintah Belanda sebesar Rp 8,672 miliar pada 2009.
Baca Juga:
Pengucuran dana ini sebelum putusan pengadilan sipil Den Haag, Belanda, atas perkara gugatan kompensasi dari keluarga korban, beberapa waktu lalu. Suparta, Pembina Yayasan Sampurna Raga, mengatakan keluarga korban berpendapat bahwa seharusnya uang itu sudah di tangan pemerintah Indonesia. "Karena (masalah) ini, saya dianggap menggelapkan uang dari Belanda," kata Suparta dalam diskusi "Belajar dari Kasus Rawagede" di kantor Kontras, Jakarta, kemarin.
Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede, Jumat pekan lalu pun mempertanyakan dana bantuan tersebut. Menurut dia, dana itu hendak dipakai membangun fasilitas umum masyarakat Kampung Rawagede, seperti gedung sekolah dan pelayanan kesehatan. "Tapi sampai sekarang tak ada realisasinya," kata pria 60 tahun itu.
Suparta menjelaskan Belanda mengucurkan duit bantuan itu berdasarkan proposal program dari warga sekaligus keluarga korban Rawagede. Proposal diajukan oleh ahli waris dan tokoh masyarakat Rawagede melalui Yayasan Sampurna Raga pada Oktober 2009. Program itu terdiri atas pembangunan sekolah menengah, pasar rakyat, gedung puskesmas, dan sejumlah pembebasan lahan tanah.
Menurut Reydonnyzar, awalnya dana hibah yang berasal dari Kementerian Perekonomian Belanda ini memang akan diberikan oleh Kedutaan Besar Belanda, langsung kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang. Namun Pemda setempat tidak berani menerimanya.
"Mekanisme penerimaannya harus melalui pemerintah pusat. Karena itu, muncullah MoU antara Kedutaan Besar Belanda dan Kemendagri untuk menjamin efektivitas pelaksanaannya, di mana proyek ini bernama "Pembangunan Terpadu di Desa Balongsari Kabupaten Karawang" sejumlah Rp 8. 672.180.000 (Rp 7,672 miliar)," dia menjelaskan.
Setelah pengesahan inilah, kata pria yang akrab dipanggil Donny ini, Kementeriannya baru bisa memproses lebih lanjut. Lagi pula, Kementerian Keuangan juga telah memberikan izin pembukaan sejumlah rekening.
"Kami sedang mempersiapkan dokumen proyek yang meliputi keputusan Mendagri mengenai pembukaan rekening, pedoman pelaksanaan, sosialisasi, dan serangkaian persiapan lainnya," kata dia. Intinya, prosedur administrasi harus terpenuhi sesuai perundang-undangan yang berlaku. "Jadi, tidak benar uang itu sudah ada pada kami. Masih di Kedutaan Belanda."
MUNAWWAROH