TEMPO Interaktif, Surakarta - Dalam perang Bharatayuda, Resi Bisma tewas oleh panah Hrusangkali yang dilontarkan Srikandi. Kematian manusia setengah dewa itu membuat semua orang bersedih, baik dari kubu Pandawa dan Kurawa. Namun Drupadi menyambutnya dengan tawa.
Demikian pertunjukan teater dengan latar belakang cerita wayang yang digarap oleh Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dalam Festival Kesenian Indonesia VII di Solo, Sabtu malam, 15 Oktober 2011. Mereka mencoba menafsir lakon Bharatayudha melalui isu kesetaraan gender.
Perang Bharatayudha yang berlangsung selama 18 hari itu diringkas menjadi sebuah pertunjukan selama 30 menit. Mereka juga berusaha mengubah cerita wayang itu agar lebih ‘ngepop’ dan segar. Beberapa percakapan diubah dengan bahasa Indonesia agar mudah dipahami oleh penonton.
Pementasan teater berjudul Karma di Ladang Kurusetra itu dimulai dengan cerita pertemuan antara Puntadewa dan Resi Bisma, sebelum pecah perang Bharatayudha. Meski berada di pihak Kurawa, keluarga Pandawa sangat menghormati pria yang dianggap bijaksana tersebut.
Cerita perang saudara itu berlanjut dengan kisah tewasnya Resi Bisma di tangan Srikandi. Pertunjukan terus berlanjut dengan tewasnya Dursasana di tangan Werkudara. Kematian dua tokoh Kurawa tersebut memang menjadi bagian terpenting dalam garapan tersebut.
“Mereka berdua memiliki dosa besar terhadap perempuan,” kata Rano Sumarno, sutradara dalam pertunjukan tersebut. Bisma pernah membunuh Dewi Amba yang sangat mencintainya. Sedangkan Dursasana pernah melakukan pelecehan terhadap Drupadi saat menang taruhan melawan Pandawa.
“Perang Bharatayudha ini menjadi hukum karma bagi mereka berdua,” kata pengajar jurusan teater ISI Yogyakarta tersebut.
Penggarapan naskah Karma di Ladang Kurusetra ini memakan waktu dua bulan. Dalam pementasan tersebut, Rano melibatkan pemain dari berbagai jurusan. Seperti jurusan pedalangan, tari, karawitan, seni pertunjukan, hingga musik.
Tidak semua cerita berdasar pada pakem pewayangan. “Pakemnya, saat Bisma gugur, semua orang bersedih,” kata Rano. Namun dirinya justru menghadirkan sosok Drupadi yang menyambut gembira atas kematian tokoh yang memiliki dosa terhadap perempuan itu.
Tata panggung dalam pertunjukan di Teater Besar ISI Surakarta itu berlatarkan seni pertunjukan tradisional. Pemain yang telah menyelesaikan adegan tidak keluar dari panggung, namun duduk bersama pemusik gamelan dengan membelakangi penonton. Mereka memberikan sentuhan musik dengan warna khas Sunda, Jawa, serta Bali.
AHMAD RAFIQ