TEMPO Interaktif, Jakarta - Wakatobi tak hanya memikat di kedalaman lautnya. Di daratan, saya juga menemukan beragam keunikan. Di Pulau Wangi-Wangi, ibu kota Kabupaten Wakatobi, saya sempat menjumpai perkampungan Suku Bajo, para “petualang laut” yang tersohor itu. Saya juga sempat menengok sejumlah bangunan peninggalan sejarah masa kekuasaan Kesultanan Buton.
Di pulau berpenduduk 50 ribu jiwa ini terdapat Masjid Liya, yang konon masjid tertua setelah Masjid Keraton Buton di Pulau Buton. Letaknya di atas sebuah bukit, dekat Benteng Liya Togo. Di zaman penjajahan Portugis dan Belanda tempat ini salah satu benteng pertahanan Kesultanan Buton. Tak jauh dari benteng, ada makam Talo-Talo, pemimpin Kadiye atau “kerajaan kecil” bagian Kesultanan Buton. Talo-Talo, dalam bahasa lokal berarti "Dia yang mengalahkan".
Saya juga sempat berziarah ke makam Djilabu, ulama penyiar agama Islam daerah itu. Sejumlah bangunan bersejarah ini berada di Desa Liya Togo. Sesuai dengan artinya, tempat ini dulunya "Togo" atau pusat kota. Di sinilah, sampai sekarang, warga masih melestarikan ritual adat Posepa, di tanah lapang depan masjid, setiap Lebaran. Tak jauh dari Masjid Liya, saya juga mampir di rumah peninggalan La Ode Taru, “raja kecil” terakhir Liya yang dibunuh di zaman penjajahan Jepang.
Peninggalan masa Kesultanan Buton juga terdapat di Pulau Tomia. Namanya Benteng Patua. Seperti Benteng Liya, Benteng Patua juga terletak di atas bukit. Beberapa meriam kuno masih terpasang mengarah ke laut, seakan menyambut kedatangan musuh. Perairan ini konon dulu dilewati kapal penjajah yang “merampok” rempah-rempah dari Maluku. Di area ini juga terdapat sejumlah makam tokoh pejuang lokal serta bekas perkampungan.
Meriam-meriam kuno juga bisa ditemui di Pulau Binongko, pulau terluar Kepulauan Wakatobi. Namun hal yang tak kalah menarik di Binongko adalah komunitas pandai besinya. Di sejumlah desa di Binongko mereka setia menjalankan profesinya sebagai pandai besi yang diturunkan dari para leluhur. Zaman dulu, orang tua dan kakek mereka juga tukang besi.
Parang yang kuat dan tajam buatan mereka—kini disebut parang Binongko—dijual ke daerah-daerah lain di Pulau Buton dan Sulawesi. Karena banyaknya tukang besi di sini selama berpuluh tahun pulau ini dinamai “Pulau Tukang Besi”. Penamaan itu melebar. Beberapa pulau lain—sekarang Wakatobi—juga sempat dijuluki “Kepulauan Tukang Besi".
Binongko adalah target terakhir saya saat mengunjungi Wakatobi. Sebelum keluar dari pulau menggunakan speedboat dan kembali ke Jakarta via Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, saya menyempatkan diri mampir di Tanjung Rinu. Ini sebuah tempat terbuka di tepi tebing yang menghadap langsung ke laut. Selain karena pemandangannya indah, Tanjung Rinu menjadi lokasi satu-satunya di Binongko
yang terjangkau sinyal telepon seluler.
Karena itu tempat ini hampir selalu dipenuhi muda-mudi yang asyik mengirim pesan pendek via telepon genggam atau bertelepon ria dengan kekasih atau pasangan mereka yang merantau. Karena untuk melepas rindu, mereka pun mempelesetkan nama Tanjung Rinu menjadi “Tanjung Rindu." Tanjung Rindu bakal tak lagi menjadi satu-satunya tempat melepas rindu di Binongko karena operator akan menambah menara selulernya di sini. Namun Tanjung Rindu akan selalu membuat Saya rindu untuk kembali, dan kembali lagi ke Wakatobi.
l DIMAS ADITYO