TEMPO Interaktif, Jakarta - Pengamat Hukum Tata Negara, Irman Putra Sidin, menilai tepat atau tidak tepatnya hasil perombakan (reshuffle) kabinet yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi hak seorang Presiden. "Bagi hukum tata negara itu keputusan Presiden," katanya saat dihubungi Tempo, Rabu, 19 Oktober 2011.
Irman mengatakan, sebagaimana haknya mengangkat dan mengganti para menterinya, presiden jugalah yang akan bertanggung jawab kepada rakyat atas kinerja para pembantunya itu, termasuk menteri yang baru dirombaknya. Jadi, kata dia, jika menteri tersebut kinerjanya mengalami kegagalan, maka yang harus bertanggung jawab adalah presiden, bukan menterinya. Dengan kata lain, Presiden SBY pasti sudah mempertimbangkan dengan benar saat mengeksekusi reshuffle kabinetnya. "Presiden tak sebodoh itu," imbuhnya.
Menurut dia, dalam mempertimbangkan reshuffle, seorang presiden memiliki dua alasan, yaitu alasan kebutuhan pemerintah dan alasan kebutuhan politik. Irman pun mengatakan beberapa menteri yang diganti oleh Presiden SBY didasari kecenderungan politik yang kuat. Salah satunya terlihat pada pencopotan Menteri Hukum dan HAM, Patrialis Akbar. Menurutnya selama ini kinerja Patrialis cukup bagus dan tidak ada alasan kuat yang bisa memaksa pencopotannya, kecuali alasan kebutuhan politik koalisi pemerintah.
Selain itu, kata dia, munculnya beberapa anggapan yang menyatakan bahwa kinerja Patrialis selama ini cenderung menurunkan pencitraan pemerintah di bawah Presiden SBY. Tapi, benar atau tidaknya hal itu, kata dia, ini merupakan kelemahan Presiden SBY dalam memimpin. Selama ini Irman melihat kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh Presiden SBY lebih berupa kebijakan yang populis atau mengedepankan pencitraan di mata rakyat.
Irman mengatakan Presiden SBY seakan-akan hanya berpikir menjalankan pemerintahan sekedar satu masa jabatan saja sehingga ia ingin pencitraannya dilihat oleh rakyat. "Padahal, suatu pemerintahan itu dampaknya bukan hanya sekedar lima tahun saja, tapi bertahun-tahun ke depannya."
Karena itu, ia menilai Presiden harus bertindak benar. Namun, jika taruhannya adalah pencitraan pemerintah, maka Presiden SBY pun akan ragu-ragu dalam mengambil keputusan tersebut. Dengan kata lain, karena yang dikejar hanya pencitraan, maka yang diambil Presiden SBY adalah kebijakan yang populer saja. Akhirnya kabinetnya pun juga ikut-ikutan mementingkan popularitas seperti pemimpinnya.
INDRA WIJAYA