TEMPO Interaktif, Jakarta - Katanya sih kalau sudah sampai di Moskow tak mampir ke Izmailovo sama saja makan bubur tanpa sendok. Bingung, kalau ditanya orang nanti. Benar juga, Ismailovo adalah rute wajib yang harus dilalui. Di kawasan ini ada pasar yang lumayan luas, yang umumnya mereka berdagang hampir semua suvenir khas Moskow atau Rusia.
Ajakan dari rombongan dari Jakarta ternyata boleh juga. Akhirnya, kaki ini meluncur ke sana. Sayang, udara memang lagi dingin. Dinginnya ampun. Menusuk tulang. Hanya ketiak yang masih terasa hangat, lainnya gemetar semua. Tapi semua itu tak jadi masalah, la ini kan Moskow. Kapan lagi pergi ke sini kalau bukan sekarang. Lagi pula, di saat dingin seperti ini tak ada salahnya kaki ini harus dibawa jalan-jalan. Maksudnya, biar tidak terlalu dingin.
Selama berada di sana, mata ini tidak terpuaskan dengan suvenir yang dijual di sana. Di kawasan Arbad, yang ada hanyalah matroska, syal, t-shirt pelesetan Lenin, atau topi bulu. “Kalau mau yang beda, ya di Ismailovo,” kata staf KBRI di sana.
Benar saja, sesampai di sana, satu-dua kios begitu menarik perhatian. Di sana banyak sekali barang loakan dari tahun 1980-an yang khas Uni Soviet. Topi tentara, pin, alat-alat kerja, dan yang lainnya. Di sini Uni Sovyet masih hidup. Persis kayak di film Goodbye Lenin.
Mau beli rasanya tak kuat. Selain mahal-mahal, sudah pasti membeli satu dua barang saja tak cukup. Ya sudah, urungkan niat, kaki ini kemudian melangkah ke sebuah sudut yang mengesankan.
Seperti menonton handuk, yang tengah dijemur. Di satu sudut, poster-poster bergambar Lenin, Yuri Gagarin, dan poster propaganda di sana bergantungan dengan gagah. Palu arit kuning di atas dasar merah, tiba-tiba saja mengingatkan pada Ivan Drago, petinju Rusia yang seperti monster tapi kemudian tunggang langgang dihajar Rocky Balboa.
Tapi siapakah yang jualan di sini? Tak ada yang menjawab. Mereka di sana biarpun sedikit-sedikit bisa ngomong Inggris tapi kalau kalimatnya panjang jawabannya sering tak jelas dan lebih terdengar seperti orang nggerendeng. Kedengarannya sih: “gue gak tahu pertanyaan lu.” Mungkin begitu.
Rupanya si penjual poster itu punya kios yang kecil, ukurannya tak lebih dari 3x 5 meter. Dia seorang perempuan tua. Rambutnya yang pirang sengaja dipanjangkan dan persis perempuan di tahun 1980-an. Kalau jabrik sedikit, hmm tidak beda dengan Kim Wilde, penyanyi dekade itu.
Di dalam ruangan kecil itu bertumpuk berbagai poster dan buku-buku tua. Sayangnya seluruh buku itu berbahasa Rusia. Mati deh. Eh, mereka yang berbelanja di sana juga kebanyakan orang Rusia--yang tiap kali ditanya selalu menjawab dengan gelengan kepala.
Untung si nenek ini bisa berbahasa Inggris. Walaupun untuk menunjukkan harga, dia lebih suka dengan menunjukkan kalkulator yang ukurannya besar. Omong-omong sebentar, akhirnya tiga lembar poster menjadi milik saya. Harganya 150-an rubel atau sekitar Rp 52 ribu.
Harga yang cukup mahal sebenarnya. Bukan apa-apa, poster itu dicetak di atas kertas ala kadarnya. Seperti HVS 70 gram, tintanya juga tak terlalu bagus. Jelek sekali. Kalau dibandingkan di Jakarta, jauh banget. Poster dengan harga segitu kertasnya bagus, licin, dan warnanya juga mengkilap. Tak apalah. Yang penting, bisa beli poster langsung di negerinya sendiri.
Namun ternyata poster itu hanyalah reproduksi. Pantas saja. Yang asli? Ya itu yang digantung-gantung dan ukurannya juga jumbo. Sebesar kertas suara di Pemilu 2009. Bagus, kertasnya juga tebal, dan tintanya khas tahun 1980-an. Gambarnya? Siapa lagi kalau bukan Lenin dan kawan-kawannya. Pokoknya, terasa benar Uni Sovyet-nya. "Harganya 6.000 rubel," kata si nenek dengan yakin. Di kepala langsung berputar-putar menghitung angka itu dalam rupiah. Sekitar Rp 2 juta! Duit di dompet nggak sampai segitu. Akhirnya, hati ini cukuplah puas dengan 4 lembar poster hasil reproduksi.
Ya sudah, goodbye deh Lenin. Sorry Kamerad, ane kagak bisa bawa ente.
IRFAN BUDIMAN