TEMPO Interaktif, Bandar Lampung - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang berturutan membebaskan dua eks pejabat dalam kasus korupsi menuai kecaman. Ratusan orang yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Lampung Timur, Kamis, 20 Oktober 2011 siang mengeruduk Kantor Kejaksaan Tinggi Lampung.
Meski diguyur hujan lebat, secara bergantian pengunjuk rasa berorasi dan mengecam bebasnya terdakwa perkara korupsi. Massa juga mendesak jaksa segera mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. "Kami akan mengawal proses kasasi ini," kata Sofyan Sembiring, Juru bicara pengunjuk rasa itu mengancam, "Jika buntu, rakyat akan mengadili dengan caranya sendiri."
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang memang jadi sorotan. Dalam dua hari dua bupati yang menjadi terdakwa korupsi dana kas Anggaran Pendapatan Belanja Daerah divonis bebas. Vonis pertama dijatuhkan Senin 17 Oktober 2011 lalu. Bupati Nonaktif Lampung Timur, Satono, divonis bebas dari tuduhan korupsi dana kas APBD Lampung Timur senilai Rp 119 miliar.
Hanya berselang dua hari, Rabu 19 Oktober 2011 kemarin, giliran mantan Bupati Lampung Tengah, Andi Ahmad Sampurna Jaya. Bupati periode 2005-2010 ini juga divonis bebas dari kasus korupsi dana kas Lampung Tengah senilai Rp 28 miliar. Dana tersebut juga disimpan pada bank yang sama dengan korupsi Lampung Timur, yakni BPR Tripanca Setiadana.
Padahal oleh jaksa penuntut umum Andi dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan penjara. Selain itu juga ia dituntut membayar uang pengganti Rp 20,5 miliar subsider empat tahun penjara.
Namun pasal-pasal yang disangkakan kepada Andi dimentahkan oleh majelis hakim yang diketuai Andreas Suharto. Andreas adalah hakim yang juga memvonis bebas Satono. Hakim beralasan keduanya bebas karena dakwaan jaksa dinilai tidak terbukti.
Dalam orasinya massa menilai jaksa penuntut umum tidak cakap dan lalai dalam menyusun dakwaan. Selain itu massa mempertanyakan mengapa tidak satu pasal pun dalam dakwaan yang disusun berlapis tak mampu dibuktikan jaksa dalam persidangan. "Kenapa bisa dengan mudah dimentahkan hakim,” kata Sofyan Sembiring.
Kecaman juga datang dari Forum Warga Lampung Tengah (FWLT). Mereka mengecam jaksa dan majelis hakim yang tidak punya iktikad memberantas korupsi di Lampung. "Jaksanya lemah, hakimnya bebal,” kata Ketua FWLT, Sumarsono.
Sumarsono mengancam akan melaporkan Majelis Hakim itu ke Komisi Yudisial. Mereka mencurigai ada permainan antara terdakwa dan hakim karena putusan bebas itu dinilai ganjil. "Jaksa juga sengaja melemahkan diri dengan ketidakmampuan menghadirkan saksi kunci dan bukti-bukti yang akurat," ujar dia. "Kelemahan ini dimanfaatkan sebagai alasan membebaskan terdakwa. Jadi sudah dimainkan sejak mulai dari prapenuntutan."
Ditemui terpisah, Yusna Adia dan Abdul Kohar, jaksa penuntut perkara itu mengaku kecewa dengan putusan bebas itu. Mereka juga mengklaim telah bekerja maksimal dan menuntut kedua terdakwa, masing-masing hukuman 12 tahun dan 10 tahun penjara. "Kami tidak main-main dan selalu berkonsultasi dengan Kejaksaan Agung," ujarnya." Kalau hakim memvonis bebas itu kekuasaan mereka."
Itong Isnaini Hidayat, salah seorang hakim anggota, siap bertanggung jawab atas putusan. Dia beralasan dakwaan dan pembuktian jaksa di persidangan lemah. "Itu faktanya,” katanya. "Hakim berpegang pada fakta persidangan. Semua saksi yang dihadirkan tak menunjukkan keduanya melawan hukum.”
Menurut Itong, majelis hakim mendasarkan pertimbangan hukum putusannya pada fakta-fakta hukum di persidangan meski tidak sejalan dengan opini masyarakat. ”Kami tidak harus terpengaruh oleh suara masyarakat,” kata Itong.
NUROCHAM ARRAZIE