TEMPO Interaktif, Jakarta - Anggota Komisi I DPR, Helmy Fauzi, menyatakan komisinya akan segera memanggil Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto untuk menjelaskan insiden kekerasan yang terjadi saat Kongres Papua III di Abepura, Jayapura, Rabu lalu.
Menurut dia, insiden ini seharusnya bisa dicegah oleh pemerintah jika saja informasi intelijen ditindaklanjuti. Ia mengatakan Komisi I sudah menerima laporan Badan Intelijen Negara sejak beberapa waktu lalu soal akan digelarnya Kongres ini. "Itu ada pembiaran. Kalau early warning sudah diberikan, harus ada cegah dini, dong," ujarnya kepada wartawan di gedung DPR, Jumat, 21 Oktober 2011.
Sekitar 4.000 orang menggelar Kongres Rakyat Papua III pada Rabu lalu. Kongres yang dibuka Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yeboisembut itu kemudian mendeklarasikan berdirinya negara Papua Barat, sekaligus memilih presiden dan perdana menterinya. Akibatnya, polisi melakukan pembubaran paksa, yang menewaskan empat orang.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua Mathius Murib mengatakan empat peserta yang tewas adalah Daniel Kadefa, Maxsasa Y., Yakob Samonsabra, dan Aza Yeuw yang merupakan anggota Pasukan Penjaga Papua. Mathius Murib mengungkapkan, mereka tewas tertembak.
Namun, hal itu dibantah Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam. Ia mengatakan korban yang ditemukan sehari setelah kejadian tak jauh dari lokasi kongres tewas bukan akibat luka tembak.
Menurut Helmy, Komisi I telah menerima informasi dari BIN beberapa waktu lalu soal akan digelarnya Kongres Rakyat Papua ini. Namun, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini melanjutkan, pemerintah tidak menganggap isu ini sebagai sesuatu yang penting dan tidak ditindaklanjuti. Karena itu, intelijen juga tidak dapat berbuat banyak. "Kita, kan, maunya intelijen itu hanya melakukan pendeteksian dini dan tidak bisa menginterogasi, menangkap dan menahan. Makanya, intelijen kita tidak melakukan apa-apa," ujarnya.
Ia mengaku kecewa dengan pembiaran dan kejadian kekerasan ini. Menurut dia, apa yang dilakukan oleh rakyat Papua juga merupakan bentuk kekecewaan kepada pemerintah yang tak memperhatikan nasib mereka. Karena itu, ia meminta pemerintah tak hanya mengedepankan paradigma keamanan untuk menangani konflik Papua.
"Apakah dengan penangkapan dan pembunuhan seperti ini menyelesaikan permasalahan atau tidak. Ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Kita memerlukan pendekatan lain."
Hal senada disampaikan Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq. Menurut dia, munculnya pergolakan di Papua lebih karena kekecewaan terhadap kondisi ekonomi disana. Ia menuding pemerintah tidak becus dalam mengelola dana Otonomi Khusus Papua yang jumlahnya mencapai triliunan rupiah. "Hubungan pemerintah pusat dan daerah bisa kuat ke masyarakat jika bisa membuktikan dana otsus bisa efektif dan tidak ada kebocoran," ujarnya.
Soal penggunaan dana Otsus Papua, menurut Helmy, harus dilakukan pemeriksaan secara komprehensif. Ia juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi untuk memeriksa temuan Badan Pemeriksa Keuangan soal penyalahgunaan dana Otsus Papua ini. "Jangan kemudian teri-teri yang ditangkap pakai pukat harimau," ujarnya.
"Kalau kita lihat dari APBD-nya, dana Otsusnya Rp 28 triliun, kok, tidak bisa sih mensejahterakan rakyat Papua. Kok, mereka masih saja miskin. Ini yang harus diperiksa secara koprehensif."
FEBRIYAN