TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan keaksaraan merupakan prasyarat untuk belajar dan mengelola informasi. Keaksaraan juga berfungsi untuk mengatasi berbagai keterbatasan seperti kemiskinan, ketertinggalan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
“Keaksaraan dapat membebaskan seseorang dari keterbatasan dan jenis bacaan dapat membentuk karakter yang damai sebagai landasan budaya damai,” ujarnya pada puncak peringatan Hari Aksara Internasional ke-46, Jumat, 21 Oktober 2011.
Karena itu, tidak ada alasan bagi masyarakat Indonesia untuk tidak mengenal aksara. Sebab, aksara sebagai media untuk berkomunikasi sehingga menjadi suatu keharusan untuk mendapatkan dan memberikan sesuatu pada kehidupan masyarakat sosial. "Bayangkan jika kita hidup tanpa media dan komunikasi," kata Nuh.
Setiap karakter dalam aksara, ia melanjutkan, mempunyai makna dan merupakan bagian dari proses pembudayaan yang diciptakan para pendahulu. Ia berharap, masyarakat Indonesia mampu mengenal keaksaraan tanpa terkecuali.
Namun, mantan Rektor Universitas Sepuluh November Surabaya itu mengakui, ada sejumlah persoalan yang membuat upaya menekan angka buta aksara menjadi sulit. Menurutnya, masyarakat enggan mempelajari keaksaraan karena merasa tetap dapat melangsungkan hidup tanpa perlu mengenal keaksaraan.
"Oleh karena itu, mengenalkan makna dari keaksaraan menjadi tugas kita semua. Tidak ada alasan ke depan anak-anak bangsa tidak mengenal aksara, meskipun usianya sudah di atas 40 tahun," kata Nuh.
Sebelum menyampaikan pidato, Nuh menyerahkan anugerah dan penghargaan kepada tujuh bupati, satu wali kota, enam taman bacaan masyarakat, peserta didik keaksaraan, enam penulis buku pengayaan, dan enam wartawan. Dari keenam wartawan itu, Sudrajat dari Koran Tempo meraih Juara I Publikasi Keaksaraan dengan judul tulisan “Tetap Membaca di Sela Belanja”. Tulisan ini dimuat pada Koran Tempo edisi Minggu, 1 Mei 2011. Pemenang berikutnya diraih Media Indonesia, Harian Terbit, Kompas, dan Surabaya Pos.