TEMPO Interaktif, Jakarta - Enam partai politik menengah tampaknya serius dengan pembentukan poros tengah dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilihan umum. Mereka beranggapan ketentuan ambang batas parlemen berpotensi mengancam eksistensi mereka di pemilu mendatang.
Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Amanat Nasional Viva Yoga Mauladi mengungkapkan sejumlah alasan pembentukan poros oleh PAN, PKS, PKB, PPP, Gerindra, dan Hanura.
Alasan pertama, Viva mengatakan, poros tengah berkeinginan menegakkan konstitusi. Menurut dia, sistem pemilu yang berlaku sesuai konstitusi adalah sistem proporsional. Penerapan angka ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang semakin tinggi akan meningkatkan indeks disproporsionalitas. Karenanya, penerapan ambang batas di atas 3 persen dinilai melanggar konstitusi.
Dengan angka ambang batas di atas 3 persen, jumlah suara sah hangus atau terbuang menjadi semakin banyak karena tidak bisa dikonversi menjadi kursi. "Ini akan semakin menjauhkan dari nilai proporsionalitas dan pemilu menjadi tidak berkualitas," ujar Viva dalam pesan pendeknya kepada wartawan, Selasa, 1 November 2011.
Alasan kedua, enam parpol menengah ingin menjaga dan merawat pluralisme dan kebhinekaan Indonesia. Ia mengatakan, parpol secara sosiologis adalah pengejawantahan dari kelompok-kelompok sosial yang tumbuh di masyarakat yang berbeda agama, suku bangsa, adat, ideologi, dan golongan.
Kelompok-kelompok sosial ini berhimpun dalam parpol atas dasar persamaan ide, gagasan, dan cita-cita bersama. Jika jumlah parpol semakin dibatasi, maka pluralisme dan kebhinekaan juga semakin terkikis. Untuk itu, "Jumlah parpol di tingkat nasional saat ini sudah cukup merepresentasikan kebhinekaan masyarakat Indonesia," ujar Viva.
Alasan ketiga, revisi undang-undang pemilu bertujuan membangun sistem kepartaian yang demokratis, sehat, dan kuat. Revisi tidak untuk menghilangkan atau membunuh parpol kecil atas nama menciptakan pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien.
Menurut Viva, partai-partai besar memilih logika yang keliru jika menilai pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien ditentukan oleh jumlah partai. "Pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien ditentukan ada tidaknya perbedaan ideologi politik partai dan komposisi perolehan kursi partai di DPR," ujarnya.
Selain itu, pemerintahan presidensiil yang efektif dan efisien juga ditentukan ada tidaknya kepemimpinan yang kuat di pemerintahan. Absennya kepemimpinan yang kuat dan berwibawa di pemerintahan, Viva menyatakan, dapat memicu terjadinya ketidakstabilan politik.
Alasan keempat, Viva mengatakan, rancangan undang-undang pemilu harus diputuskan melalui landasan konstitusional dan tidak boleh bertentangan dengan kaidah keilmuan pemilu. Sebab, penerapan ilmu pemilu di Indonesia itu berdasarkan dari penemuan dan modifikasi yang sudah ada, tanpa boleh melenceng dari kaidah yang sudah berlaku.
Alasan terakhir, enam partai menengah ingin memberi pelajaran politik kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam mengawasi proses pembahasan rancangan undang-undang pemilu di DPR supaya berjalan sesuai tujuan revisinya. "Jangan sampai ada tirani mayoritas atau diktaktor minoritas di DPR. Kekuatan 'civil society' harus terlibat aktif dalam proses pengambilan kebijakan rancangan pemilu," ujar Viva.
MAHARDIKA SATRIA HADI