TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia, Ade Sudrajat Usman, menyatakan penyelundupan produk impor tekstil dan produk tekstil ilegal dari Cina masih marak terjadi meski sudah ada perjanjian pasar bebas antara Indonesia dan Cina. Hal itu terlihat dari perbedaan data nilai perdagangan kedua negara sekitar US$ 500 juta selama kurun waktu tujuh bulan pertama tahun ini.
Pemerintahan Cina mencatat nilai perdagangan tekstil kedua negara sepanjang Januari-Juli 2011 mencapai US$ 1,7 miliar, atau lebih tinggi ketimbang data versi Pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,2 miliar. "Tak mungkin Pemerintah Cina melebih-lebihkan data mereka atau Pemerintah Indonesia mengurangi datanya. Artinya ada potensi penyelundupan sebesar nilai tersebut," kata Ade, Kamis, 3 November 2011.
Temuan tersebut terungkap pada saat pertemuan antarasosiasi pertekstilan kedua negara di Cina. Nilai US$ 1,7 miliar itu berasal dari catatan setiap pelabuhan pengiriman ke Indonesia. Atas indikasi tersebut, API meminta pemerintah memperketat pengawasan masuknya tekstil dan produk tekstil (TPT) agar tidak merugikan industri dalam negeri.
Maraknya penyelundupan itu juga terlihat dari pemantauan langsung di pasar. "Banyak pedagang yang mengakui maraknya produk impor ilegal itu," katanya.
Penyelundupan tersebut disinyalir dilakukan oleh importir untuk menghindari pungutan pajak seperti pajak pertambahan nilai dan pajak penghasilan. Dengan begitu produk yang dijual itu bisa lebih murah dibanding dengan produk yang masuk secara legal. Walhasil industri makin kesulitan bersaing di pasar domestik, apalagi selama ini harga produk dari Cina sudah tergolong murah.
Potensi total impor TPT ilegal yang masuk ke Indonesia juga diprediksi lebih besar lagi karena bukan hanya Cina yang melakukan ekspor. Sejumlah negara lain di Asia yang juga menjadi pemasok TPT ke Indonesia antara lain Malaysia dan Vietnam.
AGUNG SEDAYU