TEMPO Interaktif, Jakarta -Khilda Baiti Rohmah, 23, mahasiswi teknik lingkungan Universitas Pasundan Bandung menerima penghargaan Danamon Award 2011, Jumat 4 November 2011. Ia dinobatkan sebagai pejuang kesejahteraan Indonesia terfavorit dalam berdasarkan dukungan publik melalui voting online dan sms 30 September hingga 30 Oktober 2011.
Peraih Danamon Award 2011 lainnya yaitu Karmono, Kemiskidi, Nureini dan Putu. ”Mereka adalah pejuang kesejahteraan Indonesia sebenarnya. Kegiatan diharapkan menggugah semangat dan inspirasi bagi orang lain untuk berbuat lebih bagi negerinya,” ujar Zsa Zsa Yusharyahya, Ketua Panitia Pelaksana Danamon Award 2011 dalam rilis yang diterima Tempo.
Khilda menerima piagam dan hadiah uang tunai sebesar Rp 55 juta. Hadiah uang tunai sesuai dengan perayaan hari jadi Danamon yang ke-55 pada tahun ini. Sedangkan keempat peraih Danamon Award lainnya masing-masing akan menerima piagam penghargaan dan hadiah uang tunai sebesar Rp 35 juta.
Danamon Award 2011 memberi anugerah dalam lingkup lingkungan hidup, pemberdayaan peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan orang-orang dengan hambatan fisik. Kelima pemenang terpilih Dewan Juri dari 312 proposal yang masuk dan melalui tahapan seleksi dan verifikasi ketat. Dewan Juri menggunakan kriteria penilaian yaitu motivasi, outcome (hasil), outreach (jangkauan), dan sustainability (keberlangsungan).
Bagaimana perjuangan para pejuang kesejahteraan Indonesia ini? Berikut profil mereka:
Khilda Baiti Rohmah, “Pengolah Sampah”
Usianya relatif muda, 23 tahun, namun Khilda mahasiswi teknik lingkungan, Universitas Pasundan, memiliki pemikiran berbeda dengan rekan seusianya. Dengan modal uang saku sendiri, Khilda mengajak tukang sampah di lingkungannya memilah sampah organik dan non organik. Tak hanya berhenti di situ, Khilda menularkan semangatnya kepada warga sekitar untuk melakukan kegiatan pemilahan sampah. Sampah organik diolah menjadi kompos dan non organik dibuat menjadi aneka kerajinan. Pada awal melakukan kegiatan ini di tahun 2007, tidak ada warga yang mendukung namun dengan keuletan dan semangat tinggi kini warga sadar sampah dan hasilnya dapat dinikmati. Saat ini ia tengah mengembangkan penemuannya tentang pengolahan sampah sebagai energi alternatif pengganti minyak tanah.
Karmono, “Sang Penemu”
Profesinya sebagai guru Sekolah Dasar tak membatasi Karmono, 47 tahun, memikirkan pendidikan saja. Karmono memikirkan kelangsungan pelestarian tanaman buah belimbing yang banyak ditemukan di Demak. Ia menjadikan belimbing bernilai ekonomis tinggi dan bisa menunjang perekonomian keluarga. Eksperimen pengembangannya menuai hasil dan kemudian dilanjutkan dengan eksperimen mengembangbiakkan bibit tanaman jambu. Dalam perjalanan eksperimennya, Karmono menemukan satu jenis varietas unggulan yang memiliki bentuk dan rasa yang istimewa dan diberi nama Jambu Merah Delima. Saat ini lebih dari 3000 kepala keluarga dari 247 desa di Demak menjadikan Jambu Merah Delima sebagai komoditas utama perkebunan mereka, sehingga meningkatkan kesejahteraan hidup para petani.
Kemiskidi, “Pemberdaya Wisata”
Masyarakat Dusun Krebet yang berada di Kabupaten Bantul, Yogyakarta tempat kelahiran Kemiskidi (46 tahun) bermata pencarian petani dan pengrajin anyaman bambu dan tikar. Naluri entrepreuner Kemiskidi terusik, pada tahun 1994 ia memulai kegiatan membina dan memberdayakan masyarakat pengrajin dengan mengajarkan mereka membuat produk yang terbilang unik, yaitu batik kayu. Ia juga mendirikan sanggarsanggar hingga berjumlah 46. Kelompok sanggar ini diberi nama Mpok Darwis (Kelompok Sadar Wisata) dan berkembang menjadi sebuah koperasi, “Koperasi Sido Katon”, yang melayani kebutuhan para pengrajin. Desa Krebet kini dikenal sebagai salah satu Desa Wisata di Yogyakarta.
Nureini, “Pembina Istri Nelayan”
Rendahnya tingkat pendapatan nelayan di Patingaloang, Sulawesi Selatan, membuat Nureini, 42 tahun, tergerak untuk melakukan suatu kegiatan yang dapat menambah penghasilan masyarakat nelayan Patingaloang. Saat ditinggal melaut, kebanyakan para istri nelayan menganggur. Nureini mengajak mereka mengolah ikan menjadi produk makanan olahan. Ikan yang biasanya hanya sebagai lauk, diolah menjadi abon yang memiliki nilai ekonomis tinggi.. Nureini juga mendirikan kelompok Fatimah Azzahra yang beranggotakan sekitar 200 istri nelayan. Nama Fatimah Azzahra juga digunakan sebagai merk dagang abon ikan olahan mereka. Patingaloang kini dikenal sebagai penghasil abon ikan bermutu. Produk abon ikannya menjadi salah satu pilihan buah tangan dari Makassar.
Putu Suryati, ”Pengubah Paradigma”
Hambatan fisik yang dimiliki Putu Suryati, 47 tahun tak menghalangi langkahnya untuk berkarya. Orangorang dengan hambatan fisik di Bali pada umumnya dikucilkan oleh masyarakat, sehingga Putu ingin mengubah paradigma ini. Bersama 6 orang temannya yang juga memiliki hambatan fisik, mereka menampung orang-orang dengan kondisi yang sama untuk diberikan keterampilan sesuai dengan bakat dan kemampuannya masing-masing. Pelatihan yang diberikan antara lain, bahasa inggris, komputer, kerajinan tangan, dan kesenian. Putu mendirikan Yayasan Senang Hati pada tahun 2003, kini sebanyak 49 orang peserta Yayasan Senang Hati telah mandiri secara finansial.