TEMPO Interaktif, Jakarta - Markas Besar Kepolisian RI menerjunkan tim khusus guna menyelidiki serangkaian insiden berdarah di Papua. “Kemarin kami sudah menerjunkan tim ke sana,” ujar Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Saud Nasution, Sabtu, 5 November 2011.
Tim terdiri dari enam petugas yang berasal dari Divisi Pusat Labolatorium Forensik. Mereka diterjunkan atas instruksi Kepala Kepolisian RI guna membantu proses penyelidikan terkait kasus penembakan terhadap sejumlah masyarakat sipil.
Saud menjelaskan keberadaan tim diperlukan guna memastikan penyebab kematian sejumlah warga. “Karena belum tentu mereka ditembak oleh aparat. Bisa saja ada pihak tertentu yang memancing kerusuhan dengan menembakkan senjata ke arah warga,” katanya.
Meski demikian Saud belum bisa memastikan apakah penyelidikan tersebut akan meminta polisi untuk melakukan otopsi ulang terhadap jasad para korban. “Itu tergantung pada kebutuhan. Kalau memang diperlukan, pasti akan kami lakukan,” ujarnya.
Insiden berdarah terjadi secara beruntun di tanah Papua. Insiden berawal saat sejumlah buruh PT Freeport menggelar demonstrasi menuntut perbaikan kesejahteraan. Namun aksi itu berubah menjadi bentrokan berdarah yang menewaskan dua warga sipil.
Baca Juga:
Insiden kembali terjadi di kilometer 38 dan 39, menjelang lahan eksplorasi PT Freeport, pada Selasa dini hari, 24 Oktober 2011. Dua warga sipil yang tinggal di bedeng tambang rakyat tewas akibat tembakan sejumlah pria bersenjata laras panjang.
Selang beberapa hari kemudian insiden kembali terjadi saat ribuan warga menggelar kongres pembentukan negara Papua Barat. Petugas keamanan yang berusaha membubarkan kegiatan tersebut terlibat bentrok dan menimbulkan kematian tiga warga sipil.
Komisi Hak Asasi Manusia menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat terkait kasus tersebut. Hasil investigasi mereka menemukan adanya pelanggaran prosedur pengamanan yang menimbulkan kematian di pihak masyarakat sipil.
Proses pengamanan yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia itu juga dinilai melanggar prosedur. Sebab, undang-undang mengatur bahwa pelibatan TNI dalam proses pengamanan hanya bisa dilakukan atas perintah presiden dan disetujui DPR.
Saud mengakui adanya permintaan bantuan kepada TNI. Menurut dia, langkah itu ditempuh karena kekuatan Polri sangat terbatas untuk menjangkau seluruh wilayah di Papua. “Kondisi alam di Papua sangat luas. Karena itu kami perlu mendapatkan back-up dari TNI,” ujarnya.
Ditanya soal pelanggaran HAM berat hasil kesimpulan Komnas HAM, Saud menjawab, “Kami tidak ingin berandai-andai dan berpolemik dengan kesimpulan itu. Sebab sampai saat ini kami belum mendapat laporan pasti bagaimana penembakan itu bisa terjadi."
Guna keperluan penyelidikan, kata Saud, polisi telah menahan lima warga yang diduga bersalah terkait penyelenggaraan kongres. Mereka dikenai pasal makar karena memproklamasikan pendirian negara Papua Barat dan membentuk pemerintahan tandingan.
RIKY FERDIANTO