TEMPO Interaktif, Jakarta - Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan peradilan sengketa pemilu kepala daerah tidak lagi diselenggarakan di Jakarta. Usulan ini sudah dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang akan segera ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Gamawan, peradilan sengketa pemilu di daerah jauh lebih efektif digelar di daerah ketimbang di Jakarta yang selama ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. "Biayanya pun akan jauh lebih sederhana karena bisa diselesaikan di bawah dulu," ujar Gamawan usai menghadiri Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 21 November 2011.
Selain bisa menekan biaya, kata Gamawan, pelaksanaan persidangan sengketa pemilu di daerah juga lebih efektif. Dia mencontohkan, selama ini untuk membawa alat bukti daerah ke Jakarta lebih menyusahkan dan membutuhkan banyak waktu. "Misalkan kalau ada sengketa pemilu di Papua, itu membawa barang buktinya ke Jakarta sulit dan berbiaya besar."
Ada dua model yang ditawarkan Gamawan untuk melaksanakan peradilan sengketa pemilu di daerah. Pertama, bisa dilaksanakan di pengadilan tinggi masing-masing atau cukup disidangkan di Pengadilan Tinggi Kabupaten. Ketika ada banding, ujar Gamawan, bisa diselesaikan di pengadilan tinggi provinsi. "Kalau masih banding juga baru diselesaikan di Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Alternatif kedua, kata dia, dengan membuat pengadilan adhoc khusus sengketa pemilu daerah. Pengadilan ini bisa diisi oleh akademikus, hakim tinggi, dan siapa saja yang dianggap cakap. Gamawan memandang cara kedua dinilai lebih efektif dan berbiaya rendah. "Begitu perkara selesai, pengadilannya bisa dibubarkan dan menekan biaya," lanjut Gamawan.
Gamawan memastikan dua usulan itu sudah diakomodasi dalam RUU Pilkada yang sudah di meja Presiden. RUU ini juga membahas lebih terperinci mengenai ketentuan waktu pelaksanaan sidang pascapemilukada.
IRA GUSLIA