TEMPO Interaktif, Jakarta -Pengacara dan Pakar Hukum Todung Mulya Lubis, mengatakan akar permasalahan politikus banyak terseret kasus korupsi adalah keinginan untuk kaya raya. Mereka menggunakan jalur parlemen untuk mengeruk keuntungan pribadi. "Jawabannya sederhana, rakus," kata Todung melalui telepon selulernya, Jumat 27 November 2011.
Todung mengatakan politikus tidak lagi memegang hakekat menjadi seorang anggota DPR yang berkorban untuk kemaslahatan umat. Bahkan rela kehilangan hak privasi. Mereka malah bercita-cita menjadi anggota DPR untuk mendapatkan kenikmatan.
"Kalau mau jadi kaya, jangan jadi anggota DPR, jadi lah pengusaha, pengacara atau akuntan," dia menyarankan. "Kalau tidak mau mengubah sifat pasti akan mencederai lembaga DPR."
Pernyataan Todung ini menanggapi mencuatnya sejumlah nama anggota DPR dalam kasus korupsi. Salah satu yang terbaru adalah Sutan Bhatoegana, anggota DPR dari Fraksi Demokrat. Dalam sidang kasus korupsi pengadaan solar home system Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kamis lalu, ia disebut berusaha meloloskan sebuah perusahaan dalam memenangkan tender proyek Rp 526 miliar tersebut.
Tidak hanya itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap dua anggota Dewan Semarang karena diduga menerima suap, Kamis lalu. Mereka adalah Ketua Partai Amanat Nasional, Agung Purno Sardjono dan Ketua Fraksi Demokrat DPRD Semarang, Sumartono.
Todung mengatakan kerakusan para politisi tak lepas dari peran partai yang menaunginya. Mereka tidak lagi berfungsi sebagai pengontrol. "Malah korupsi yang mengontrol mereka," ujar dia.
Kondisi ini, ujar Todung, tak lepas dari kemandirian logistik partai. Banyak partai yang tergantung dengan anggotanya. Mereka dimintai iuran yang besar untuk menyokong gerakan politiknya. "Apalagi berpolitik di Indonesia itu mahal."
Todung menambahkan masalah ini bisa diredam bila pemerintah dan penegak hukum membuat aturan yang bisa menutup kesempatan korupsi. Salah satunya menciptakan aturan tentang transaksi keuangan pejabat negara non tunai.
Aturan ini, Todung melanjutkan, akan membuat transaksi keuangan para pejabat terpantau oleh lembaga keuangan negara. Sebab, prosesnya dilakukan melalui sistem perbankan. "Mereka tidak akan lagi bisa bertransaksi secara tunai dalam skala besar," kata dia. "Transaksi tunai ini lah yang membuat korupsi itu marak."
TRI SUHARMAN