TEMPO Interaktif, London -- Profesor Muhammad Yunus, pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2006, memperoleh penghargaan Doctor Honoris Causa dari the London School Economics (LSE) pada 24 November 2011 di London, Inggris. Dalam upacara akademik di Old Building, Direktur LSE, Profesor Judith Reese, menyerahkan sertifikat Doktor Honoris Causa sains untuk bidang ekonomi kepada Profesor Yunus yang mengenakan gaun akademik dengan aksen warna ungu tua yang merupakan warna almamater LSE.
Pro-Director LSE untuk bidang riset dan hubungan eksternal, Profesor Stuart Corbrdige mengatakan, alasan utama pemberian gelar DR HC ini karena sepak terjang Yunus dalam mengembangkan kredit mikro melalui Grameen Bank.
Grameen Bank telah menyalurkan US$ 7,5 juta pinjaman kepada kelompok warga miskin, dengan 97 persen di antaranya adalah penerima perempuan. Di Bangladesh, pinjaman dari Grameen Bank telah mencapai US$7 miliar sejak pertengahan 1980-an. “Kiprah beliau dalam bisnis sosial perlu diapresiasi dengan ekspansi Grameen Bank ke industri lain, seperti telepon genggam, tekstil, pertanian serta kerja sama dengan perusahaan multinasional, misalnya Danone," kata Corbridge.
Yunus, dalam pidatonya, mengatakan tak ada yang perlu ditakuti apabila tidak menguasai suatu bidang. Ketika menjalankan Grameen Bank, Yunus mengaku tak tahu-menahu mengenai perbankan. “Mungkin dengan ketidaktahuan Anda, terdapat kebebasan berpikir untuk menciptakan sesuatu,“ tutur pria yang memperoleh Ph.D dari Vanderbilt University ini.
Yunus menambahkan, Grameen Bank mulai dari tindakan kecil dengan memberi pinjaman senilai US$ 27 kepada 42 warga miskin Bangladesh.
"Saat membangun Grameen Bank, kami melakukan segala hal yang berlawanan dengan apa yang dilakukan bank konvensional. Peminjamnya dari masyarakat miskin (bukan orang kaya), kebanyakan nasabah adalah wanita (bukan pria), lokasi bank berada di desa (bukan di kota), kami mendatangi calon nasabah (bukan mereka yang datang ke kami), dan terbukti Grameen Bank dapat berjalan dengan baik hingga kini. Kuncinya adalah membangun kepercayaan dalam sistemnya,” tutur pria yang pernah menjadi dosen ekonomi di Tennessee State University, Amerika Serikat.
Pada pidato ini, Yunus menyorot semakin banyaknya kemiskinan dan pengangguran di dunia. “Yang menjadi masalah adalah bukan orangnya, namun sistemnya karena sistem tersebut mengajarkan orang untuk beorientasi mencari uang untuk diri sendiri," ujarnya.
Yunus menutup pidatonya yang langsung disambut tepuk tangan antusias para penonton “Saya percaya bahwa dengan adanya berbagai macam ilmu pengetahuan saat ini, setiap manusia mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dimulai dengan jenis usaha yang kecil saja. Dan saya optimistis, tanpa perlu menunggu bantuan dari generasi sebelumnya, para kaum muda bisa mewujudkan hal tersebut”.
London School of Economics (LSE) yang berdiri sejak 1895 merupakan perguruan tinggi terkemuka dunia yang menempati ranking enam bidang sosial berdasarkan QS World University Rankings tahun 2011–2012. Saat ini alumni maupun staf akademik LSE telah memperoleh 16 penghargaan Nobel. Di Indonesia, alumni LSE di antaranya mantan Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono; Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat, Dino Patti Djalal, serta Direktur Eksekutif CSIS, Rizal Sukma.
VISHNU JUWONO