TEMPO Interaktif, Denpasar - Kaukus Perempuan ASEAN menyayangkan keputusan KTT ASEAN yang menyerahkan kepemimpinan organisasi itu kepada Myanmar. “Belum ada pernyataan dari penguasa Myanmar bahwa mereka berkomitmen menghormati HAM dan demokrasi,” kata Rena Herdiyani dari LSM Kalyanamitra yang mewakili Indonesia dalam kaukus itu, Sabtu, 26 November 2011.
Menurut Rena, negara-negara anggota ASEAN harus bisa menekan Myanmar untuk segera melakukan perbaikan kondisi dalam negerinya, terutama mengakhiri tekanan militer terhadap kelompok-kelompok sipil. “Lebih khusus lagi tekanan terhadap kaum perempuan,” ujarnya di Denpasar, Bali.
Rena mengungkapkan bahwa dalam setahun terakhir terjadi 81 kali kasus pemerkosaan terhadap perempuan yang dilakukan oleh kelompok militer.
Selain masalah yang terjadi di Myanmar, kaukus juga menilai pemerintah negara-negara ASEAN belum cukup serius menangani masalah kekerasan terhadap perempuan. Meski sejumlah undang-undang telah dikeluarkan, tetapi tidak diikuti oleh penyediaan aparat dan penanganan yang menghormati hak-hak perempuan.
Sering kali perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual justru mengalami pelecehan berikutnya di lembaga yang seharusnya memberi perlindungan, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Dalam kasus perkosaan, wacana yang muncul justru menimpakan kesalahan kepada kaum perempuan, terutama dikaitkan dengan cara berpakaian yang dianggap memancing birahi kaum pria. “Ini adalah posisi yang tidak adil bagi kaum perempuan,” papar Reni.
Adapun Kunthe Khan, aktivis perempuan dari Kamboja, mengatakan sebanyak 51 persen dari penduduk ASEAN adalah kaum perempuan. Namun kesempatan untuk berperan masih minoritas.
Dari 100 anggota parlemen di Kamboja, hanya 26 orang perempuan. “Ruang partisipasi pubik sangat tertutup bagi kami,” tuturnya. Akibatnya, masalah-masalah perempuan, seperti kematian ibu saat melahirkan dan pendidikan untuk perempuan, sangat terabaikan.
ROFIQI HASAN