TEMPO Interaktif, Jakarta - Tuntutan upah layak bagi pekerja PT Freeport Indonesia di Papua terus terjadi. Tepat di hari ke-74 pemogokan buruh Freeport di Papua, sekitar seratus aktivis gabungan dari sejumlah lembaga buruh melakukan unjuk rasa di depan Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta, Selasa, 29 November 2011.
Pengunjuk rasa terdiri dari perempuan dan laki-laki yang mengenakan kaos merah berkerah hitam. Di bagian kiri depan kaos bertuliskan FPBJ PT Siliwangi. Mereka membawa spanduk besar bertuliskan “TNI dan Polri Harus Memberikan Jaminan Selama Pemogokan.” Mereka juga mendukung aksi pemogokan buruh Freeport di Papua.
“Tujuan utama kami adalah menuntut kenaikan upah menjadi US$ 7,5 dollar per jam,” kata koordinator lapangan aksi, Budi Wardoyo. Menurut Budi, awalnya ribuan buruh Papua menuntut kenaikan upah US$ 43, tapi manajemen Freeport mengusulkan kenaikan upah sebesar US$ 3,09 per jam dari semula US$ 2,1 per jam. Jika dibandingkan dengan Freeport McMoran di Amerika Selatan dan Amerika Utara, gaji karyawan lebih besar, yakni US$ 30 sampai US$ 230.
Murahnya upah buruh di Indonesia itu, kata Budi, akibat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 17 tahun 2005 yang mematok upah buruh rendah. Aturan inilah yang menjadi dasar perusahaan di Indonesia. Untuk itu, mereka juga menuntut agar peraturan itu dicabut. “Cabut aturan yang melegalkan politik upah murah di Indonesia itu,” katanya.
Lebih lanjut, mereka menyoroti tindakan pemerintah yang sengaja mengeluarkan brosur, yaitu oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang mempromosikan rendahnya upah buruh di Indonesia sebagai “barang jualan” untuk menarik investor datang. Mereka juga mengecam tindakan anggota Kepolisian RI yang melakukan penembakan terhadap pelaku unjuk rasa di Freeport dan di Batam.
Demonstrasi berakhir setelah perwakilan buruh menyerahkan pernyataan sikap kepada juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Boy Rafli Amar. Rombongan lalu bergerak ke kantor Freeport di kawasan Kuningan sebelum menuju Istana Negara. “Mau bilang kepada Presiden SBY, sudah cukup mempraktekkan upah murah,” kata Budi.
RINA WIDIASTUTI