TEMPO Interaktif, Jakarta - Lembaga Hak Asasi Manusia Internasional -- Amnesty Internasional-- mendesak pemerintah Indonesia memasukan agenda hak asasi manusia dalam upaya penyelesaikan masalah Papua. Penasihat Riset Senior Amnesty International, Issabel Arradon menyebutkan pemerintah harus taat pada Kovensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia.
"Pemerintah harus memastikan pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai tidak melebihi standar yang diatur konvensi," kata Issabel saat dihubungi Tempo. Selasa, 6 Desember 2011.
Selasa 6 Desember 2011 siang, Amnesty Internasional telah melakukan pertemuan dengan Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, terkait penegakan HAM di Papua.
Setidaknya ada tiga poin yang menjadi perhatian Amnesty terhadap upaya pemerintah dalam mengatasi masalah Papua yaitu mendesak pemerintah segera membebaskan tahanan politik Papua dalam upaya pemenuhan komitmen pemerintah terhadap hak sipil dalam berpolitik, mendesak pemerintah segera mengimplementasikan Undang-Undang otonomi Khusus dengan membentuk suatu pengadilan hak asasi manusia dan komisi kebenaran dan rekonsilias. Amnesty juga mendesak pemerintah menjamin kebebasan akses para jurnalis dan aktivis lembaga internasional untuk melakukan kunjungan dan penelitidan di Papua.
Penasehat Senior Nasional International Center for Transitional Justice (IJTC) Usman Hamid mendukung upaya amnesty mendesak pemerintah segera membebaskan tahanan politik Papua.
Baca Juga:
Menurut Usman, pembebasan tahanan politik merupakan pintu masuk yang tepaty bagi pemerintah dalam menunjukkan komitmen membangun dialog yang setara dengan masyarakat Papua. "Tanpa ada keputusan membeaskan tahanan politikk, upaya membangun dialog tidak akan pernah tersampaikan,' ujarnya.
Menurut catatan Amnesty Internasional sedikitnya terdapat 90 orang tahanan politik yang sedang ditahan di penjara di Papua dan Maluku karena aktivitas pro-kemerdekaan secara damai.
Misalnya, Filep Karma, seorang tahanan Papua yang menjadi tahanan politik karena opininya “prisoner of conscience”, saat ini sedang menjalani hukuman 15 tahun di penjara Abepura, provinsi Papua. "Rasanya aneh, di tengah-tengah komitmen pemerintah menegakkan demokrasi, masih ada tahanan politik."
Selain itu, Usman menilai, upaya pemerintah menghalang-halangi jurnalis dan aktivis yang ingin melihat langsung keadaan di Papua justru akan mengundang kecurigaan banyak pihak terhadap kondisi di Papua. Pemerintah seharusnya bisa menjadi fasilitator terhadap organisasi asing, khususnya palpor Pereserikatan Bangsa-Bangsayang ingin memantau Papua. "justru dengan sikap pro aktif, kecurigaan adanya pelanggaran HAM di Papua akan berurang."
IRA GUSLINA