TEMPO Interaktif, Kudus - Warga Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, resah dengan meningkatnya populasi kera di wilayahnya. Warga yang tinggal di lereng Gunung Muria bagian barat Kudus itu tiap hari direpotkan dengan kedatangan ribuan kera yang merusak tanaman pangan milik warga.
“Jumlahnya mencapai ribuan ekor dan turun gunung ketika petani sedang menanam jagung,” kata Sugiyono, Kepala Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kudus, Jumat, 9 Desember 2011.
Desa Rahtawu yang terdiri dari lima dukuh (Krajan, Wetan Kali, Sumliro, Gingsir, dan Tumpuk) berpenduduk 1.420 kepala keluarga (4.730 jiwa), dan 600 kepala keluarga (1.500 jiwa) di antaranya tinggal di lereng gunung yang terjal. “Agar tanaman pangan tidak dirusak kera, kami meronda secara bergiliran dengan warga lain,” kata Sampurna, warga setempat. Warga setempat kini sedang menanam jagung dan ketela serta padi gogorancak.
Menurut Sudarno, warga Rahtawu yang lain, tidak hanya kera yang turun gunung. Babi hutan juga banyak merusak tanaman warga. Ia menduga ribuan kera dan babi hutan turun gunung disebabkan di bagian atas gunung kekurangan pangan. Kawasan lereng Muria memang sudah lama mengalami kegundulan dan kondisinya rawan longsor.
Data dari kantor Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, Kabupaten Kudus, menunjukkan 5.358 hektare dari total 9 ribu hektare merupakan lahan kritis. “Lahan kritis itu tersebar di 25 desa,” kata Suharsanto, Kepala Bidang Kehutanan.
Sebagian besar lahan kritis berada di lereng Gunung Muria, masuk Kecamatan Dawe (14 desa) dan Gebog (6 desa). “Sekarang hutan rakyat sudah mulai tumbuh bagus,” kata Suharsanto.
Selain itu, terdapat 1.800 hektare hutan milik Perhutani yang sering menjadi sasaran pembalakan liar.
Warga setempat memang sering was-was jika turun hujan lebat. Mereka ketakutan terjadi bencana longsor seperti yang terjadi tahun lalu. “Sampai 600 kepala keluarga kami usulkan untuk direlokasi,” ucap Sugiyono. Namun karena warga keberatan meninggalkan tanah ladangnya, relokasi dibatalkan.
Gunung Muria memiliki ketinggian sekitar 1.600 meter dari permukaan laut dengan curah hujan mencapai 3.500-4.000 milimeter per tahun. Kondisi tanahnya, menurut penelitian, tergolong tanah liat dan labil, sehingga air yang turun tidak mudah diserap. Geografinya bertebing curam. Sedangkan penduduk yang sebagian besar petani ini lebih memilih menanam padi gogo, ketela, dan jagung.
BANDELAN AMARUDIN