TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Banyaknya hotel-hotel baru di Yogyakarta tidak menyurutkan pengusaha penginapan untuk berkreasi. Bahkan rumah yang dulunya kos-kosan diubah menjadi penginapan dengan pelayanan hotel kelas bintang.
Di kota Yogyakarta banyak bangunan tua peninggalan kolonial. Ini menjadi modal tersendiri bagi para pelaku usaha penginapan untuk mempertahankan bangunan tua itu menjadi hotel dengan kamar di bawah 20 buah. Selain memepertahankan bentuk rumah yang memang berarsitektur kolonial, pelayanan dan nuansanya pun dibuat seperti jaman kolonial Belanda.
"Kami mempertahankan bangunan lama sebagai ikon tersendiri. Karena nuansanya seperti jaman dahulu," kata Kunto Arief Wibisono, pemilik Sagan Huis, homestay bernuansa kolonial di Yogyakarta, Jumat 16 Desember 2011.
Ia menyatakan, bisnis hotel dengan konsep homestay dan bernuansa bangunan lama itu lebih menguntungkan dibandingkan menyediakan kamar untuk kos. Sehingga rumah yang dulunya hanya memiliki enam kamar untuk kos-kosan ditambah 10 kamar untuk dibuat kamar hotel.
Memang di Kota Yogyakarta banyak bangunan peninggalan kolonial Belanda. Seperti di Kotabaru dan Sagan yang dulunya merupakan kawasan hunian bagi ekspatriat. Para pemilik rumah, memanfaatkan suasana komplek perumahan jaman kolonial itu untuk hunian hotel.
Para tamu yang biasanya menginap di hotel kelas melati atau kelas bintang, rata-rata maksimal hanya menginap selama 3 hari. Tetapi, jika penginapan atau homestay yang menawarkan suasana rileks dan berasa homy atau serasa di rumah sendiri, dipastikan wisatawan atau tamu betah menginap. "Suasana yang homy itu akan menambah `lenght of stay` para tamu," kata dia.
Kawasan Sagan merupakan lokasi di tengah kota yang sangat strategis. Dekat dengan Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, mal dan kawasan perkotaan lain. Namun, lokasi itu tidak sangat ramai, bahkan cenderung tidak terdengar hingar bingar kendaraan maupun keramaian kota.
"Dengan suasana yang tenang dan hotel berkonsep santai dan bisa untuk nongkrong, kami optimis tamu sangat suka," kata Kunto.
Untuk renovasi kos-kosan menjadi hotel, kata dia, dibutuhkan dana tidak lebih dari Rp 1 miliar. Angka itu tidaklah tinggi untuk membuat bisnis perhotelan.
Menurut Istidjab M Danunagoro, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta homestay di kota Yogyakarta menawarkan kamar yang jumlahnya minimalis. Satu penginapan ada yang hanya 5 kamar hingga 15 kamar saja. "Itu sebagai alternatif bagi tamu yang menginginkan penginapan berasa di rumah," kata dia.
Menjelang akhir tahun ini, katta dia hotel kelas bintang maupun melati sudah mencapai 80 persen di-booking. Bahkan ada hotel yang sudah 100 persen dipesan untuk liburan akhir tahun. Homestay baik di tengah kota maupun di pedesaan menjadi salah satu tempat yang digunakan menginap para tamu.
MUH SYAIFULLAH