TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) Azas Tigor Nainggolan mengatakan pengguna angkutan kota (angkot) terus menurun. Pada tahun 2002, kata Tigor, pengguna angkot mencapai 38,2 persen masyarakat Jakarta. Jumlah itu terus menurun menjadi 12,9 persen pada 2010.
“Tahun depan kami prediksikan hanya sekitar 10 persen masyarakat Jakarta yang menggunakan angkot,” kata Tigor dalam jumpa pers "Catatan Akhir Tahun Bus Transjakarta" di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu, 21 Desember 2011.
Menurut dia, penurunan jumlah pengguna angkot tak urung menimbulkan kemacetan di Jakarta. Saat ini kerugian yang disebabkan oleh kemacetan Jakarta mencapai Rp 28 triliun per tahun. “Masyarakat yang dulu biasa naik angkot kini beralih ke kendaraan pribadi,” kata Tigor.
Pertumbuhan kendaraan pribadi itu tidak diimbangi dengan pertumbuhan angkutan umum yang memadai. Data pelayanan STNK Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menunjukkan setiap harinya ada 1.500 penerbitan STNK motor baru dan 300 penerbitan STNK mobil baru. Sedangkan angkutan umum hanya tumbuh sekitar 2 persen per tahun. Itu pun didominasi oleh taksi dan Transjakarta.
Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya peremajaan angkot. “Sejak tahun 1996, angkot di Jakarta enggak ada yang bertambah, enggak ada yang hilang,” katanya.
Menurut Tigor, kondisi ini membuat perilaku sopir angkot di Jakarta mengkhawatirkan. “Mereka sudah tidak punya penumpang. Semua pindah ke motor. Karena itu, banyak angkot yang tidak mau berhenti di terminal,” katanya.
Tigor juga menganggap kriminalitas di angkot yang terjadi juga memperparah kondisi angkot di Jakarta.
Perilaku angkot, kata dia, bisa diubah dengan penegakan hukum yang bagus di Jakarta. “Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan dan Jalan harus ditegakkan. Harus ada standar keamanan kenyamanan dan kepastian jadwal untuk meningkatkan pengguna angkot,” katanya.
Tigor juga mengusulkan trayek angkot yang ada bisa dijadikan penghubung untuk busway. “Tinggal di-rerouting saja. Apalagi saat ini 50 persen trayek angkot bersinggungan dengan busway,” katanya.
Tigor mengatakan kelembagaan BLU Transjakarta harus dirombak untuk memperbaiki pelayanan Transjakarta yang selama ini tidak maksimal. “Kalau sekarang ada masalah harus bikin surat dulu untuk Kepala Dinas sebelum memutuskan,” katanya.
Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2009, kata dia, BLU Transjakarta seharusnya diubah menjadi BUMD. “Busway ini pilihan, langkah jangka menengah untuk memecah kebutuhan angkutan umum,” katanya.
Menurut dia, pembenahan angkot dan Transjakarta tidak langsung menghapus kemacetan yang ada. “Selama pemerintah tidak mengatur pembatasan kendaraan, kemacetan akan terus ada di Jakarta,” katanya.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI