TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan sudah ada 15 investor yang akan membangun pabrik gula baru tahun depan. "Seluruhnya merupakan investor nasional," kata Hidayat, Kamis, 22 Desember 2011.
Dengan masuknya investor tersebut, maka akan ada 15-20 pabrik gula baru untuk memproduksi kebutuhan gula nasional. Namun, untuk membangun pabrik gula baru tahun depan, setidaknya dibutuhkan lahan seluas 350 ribu hektare. Sebab, tiap perusahaan membutuhkan sekitar 15-20 ribu hektare lahan untuk pembangunannya.
Untuk memenuhi kebutuhan lahan pabrik gula baru itu, Kementerian Perindustrian sudah meminta kepada Kementerian Kehutanan agar menyediakan lahan yang dimaksud. "Sudah minta kepada Kementerian Kehutanan agar investor bisa memanfaatkan lahan-lahan produktif yang telantar untuk pembangunan pabrik gula," ucap Hidayat.
Menteri Kehutanan pun sudah berjanji untuk memproses permohonan tersebut dan berkoordinasi dengan pemerintah daerah. "Kebanyakan lahannya ada di Sulawesi dan Kalimantan. Karena kalau di Pulau Jawa, sudah sulit dapat lahannya," kata dia.
Selain membutuhkan lahan yang luas, pembangunan pabrik gula baru juga memiliki nilai investasi yang tinggi. Setidaknya untuk membangun 1 PG baru, dibutuhkan investasi sekitar Rp 1,5-2 triliun. "Mudah-mudahan pembangunannya bisa berjalan di tahun 2012," ujarnya.
Mengenai kebutuhan gula rafinasi bagi industri, Hidayat menyatakan masih harus mengkaji ulang total kebutuhannya. Masalah data harus dibicarakan kembali dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Namun dia memastikan bahwa pemerintah tidak bisa menoleransi apabila ada gula rafinasi yang digunakan untuk industri sampai bocor ke pasar. "Kami tidak bisa tolerir apabila gula kebutuhan industri bocor ke pasar yang digunakan untuk konsumsi masyarakat," kata dia. Jika sampai terjadi, harus ada tindakan berupa sanksi kepada perusahaan.
"Misalnya, diberikan sanksi pengurangan jatah impor. Ke depannya nanti, tidak boleh lagi ada toleransi terhadap kebocoran gula rafinasi," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Nur Khabsyin meminta pemerintah mengumumkan secara terbuka hasil audit gula rafinasi. Dia juga meminta pemerintah memberi sanksi tidak hanya kepada distributor dan penyalur. "Karena penjualan gula rafinasi tidak memerlukan adanya distributor dan penyalur," kata dia.
Pabrik gula rafinasi menjual gula rafinasi kepada industri makanan dan minuman secara langsung sesuai kontrak penjualan. Jadi, dari pabrik ke pabrik, bukan melalui distributor dan penyalur.
Asosiasi mendapati pabrik gula rafinasi yang melanggar, seperti PT Makasar Tene, sengaja menjual gula di pasar karena dia tidak punya kontrak penjualan kepada industri makanan dan minuman. Izin impor dari perusahaan ini sebesar 330 ribu ton dan kontrak dengan industri makanan dan minuman hanya 20 persen. “Sehingga 80 persen gulanya dijual di pasar. Pabrik seperti ini yang seharusnya diberi sanksi.”
ROSALINA