TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Perempuan menilai Hari Ibu, 22 Desember 2011, telah tergerus maknanya menjadi sekadar perayaan jasa seorang ibu di ranah domestik. Padahal maknanya lebih dari itu.
"Peringatan Hari Ibu saat ini cenderung melupakan makna sejarahnya," kata Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan Bidang Pendidikan, di Jakarta, Kamis, 22 Desember 2011.
Sejatinya, menurut Dara, perayaan Hari Ibu pada 22 Desember mempunyai makna peran perempuan di ranah yang lebih luas. Bermula pada 1928, sejumlah organisasi perempuan berkumpul dan melakukan Kongres Perempuan Pertama. Kongres yang dihadiri seribu orang itu mendeklarasikan perjuangan melawan kolonialisme, memikirkan konsep negara-bangsa, dan merupakan titik tolak Era Kebangkitan Nasional. Peran penting inilah yang sering dilupakan oleh sejarah bangsa dan generasi berikutnya.
"Saat ini, seolah-olah perempuan dan ibu tidak memiliki kontribusi signifikan dalam gerakan kebangkitan nasional dan pembentukan Indonesia sebagai negara-bangsa," katanya.
Dalam konteks kekinian, Dara menilai penghargaan terhadap kaum ibu berarti membebaskan perempuan dari berbagai bentuk kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Realitasnya, kata Dara, para istri dan ibu belum terbebaskan dari kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga.
ISMA SAVITRI