TEMPO.CO, Jakarta - Sebagai komoditas pangan utama, peningkatan produksi tanaman padi menjadi fokus pemerintah. Apalagi, ditargetkan pada 2014, Indonesia bisa swasembada dan surplus 10 juta ton beras.
Pengamat sekaligus guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin mengatakan, ada fenomena unik dalam produksi padi. Setelah dilakukan pendataan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, didapat kesimpulan bahwa produksi tanaman padi meningkat tinggi saat musim pemilu.
"Produksi padi pada 2004 dan 2009 meningkat cukup tinggi. Saya tidak tahu kenapa ini terjadi, coba simpulkan saja sendiri," kata Bustanul dalam diskusi "Kebijakan Pangan di Eras Pragmatisme Politik" di Akbar Tandjung Institute, Pancoran, Jakarta, Jumat, 23 Desember 2011.
Tercatat, pada 2004 produksi padi sebanyak 54,08 juta ton gabah kering giling (GKG) atau meningkat 3,74 persen dibanding tahun sebelumnya. Sedangkan pada 2009 produksi padi sebanyak 64,38 juta ton GKG atau meningkat 6,75 persen dibanding tahun sebelumnya.
Menurut Bustanul, kendala utama peningkatan produksi terletak pada tingginya tingkat konversi lahan sawah. Banyak lahan sawah yang beralih fungsi menjadi sektor lain di luar tanaman padi. "Ini hal yang paling sulit," ujarnya.
Kendala lainnya, kata dia, pemerintah terlalu fokus pada Pulau Jawa untuk surplus produksi padi. Selain itu juga, peningkatan produksi difokuskan pada 11 provinsi utama, di antaranya Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Barat.
"Kita terlalu menggantungkan pada Pulau Jawa dan 11 provinsi utama sehingga ada disparitas antardaerah yang mengalami defisit. Karena itu, perlu ada distribusi dan tata niaga yang baik untuk komoditas beras ini," ujarnya.
Beras, lanjut Bustanul, merupakan komoditas yang sangat sensitif. Gejolak politik maupun permainan spekulan bisa membuat harga beras di pasar melonjak tinggi. Dia meminta pemerintah berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan.
Dia menjelaskan, pembangunan ekonomi ditandai dengan penurunan pangsa sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB). Tapi sayangnya, tenaga kerja di sektor pertanian tidak ikut menurun.
"Akibatnya, beban tenaga kerja di sektor pertanian semakin besar. Harusnya kan ikut ditopang dari peningkatan industri dan jasa. Sekarang tidak heran banyak yang menjadi buruh di luar negeri," ujarnya.
Sebanyak 42 persen tenaga kerja berada di sektor pertanian. Ternyata pertumbuhan ekonomi belum mampu menyerap tenaga kerja di dalam negeri secara maksimal. "Prosesnya tidak lengkap dan tidak ada strategi besar membangun ekonomi negara," kata dia. Sehingga, pendidikan dan ketrampilan di sektor pertanian menjadi hal yang wajib.
ROSALINA