TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat masalah pertanian sekaligus guru besar Ilmu Ekonomi Pertanian Unversitas Lampung, Bustanul Arifin mengatakan, semakin maju perekonomian suatu negara, maka pembangunan di sektor pertanian akan menurun. Sebab, pemerintah akan lebih fokus pada pembangunan infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi negara.
"Di Indonesia sendiri, sektor pertanian sering diartikan salah oleh ekonom makro yang tidak paham transformasi struktural sehingga menimbulkan anggapan bahwa sektor pertanian tidak penting atau tidak perlu diproteksi," kata Bustanul dalam Diskusi "Kebijakan Pertanian di Tengah Pragmatisme Politik" di Akbar Tandjung Institute, Pancoran, Jakarta, Jumat, 23 Desember 2011.
Pembangunan ekonomi di Indonesia, lanjutnya, ditandai dengan penurunan pangsa (share) sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB). Juga rendahnya penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pangsa industri dan jasa.
Tercatat, pangsa PDB di sektor pertanian pada 2000 sebesar 17 persen, turun pada 2011 menjadi sebesar 15,7 persen, atau lebih kecil dari sektor industri sebesar 35,3 persen dan jasa 49,0 persen. Namun, Penurunan ini tak diikuti orang yang bertenaga kerja di sektor pertanian.
Terbukti 42,5 persen pangsa tenaga kerja pada 2011 masih bekerja di sektor pertanian, dan sisanya 57,5 persen bekerja di sektor lain. Implikasinya karena beberapa hal seperti, sektor industri yang tak berkembang sehingga tak menyerap limpahan tenaga kerja.
"Banyak tenaga kerja yang menjadi TKI ke Malaysia. Ini karena beban sektor pertanian amat berat menopang tenaga kerja," ungkapnya.
Menurut dia, penurunan pangsa tenaga kerja ini mengindikasikan ekonomi belum menyerap pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia. Kalaupun ada pemindahan tenaga kerja, hanya lebih kepada faktor dorongan. Artinya masyarakat desa seperti dipaksa pergi ke kota untuk mencari kerja. Padahal seharusnya sektor modern di kotalah yang mampu menarik tenaga kerja terampil sehingga pembangunan ekonomi berjalan.
"Prosesnya tidak lengkap dan tidak ada strategi besar membangun ekonomi negara," kata dia. Sehingga, pendidikan dan keterampilan di sektor pertanian menjadi hal yang wajib.
Anggota Komisi IV DPR yang membidangi masalah pertanian, Viva Yoga Mauladi, menyatakan, pemerintah tidak serius mengurusi sektor pangan karena kebijakan kepemimpinan tidak fokus ke sektor pertanian. Seharusnya kebijakan pangan tidak masuk ke ranah politis.
"Sekarang kondisinya sudah masuk ke politik. Akibatnya, Indonesia sudah memasuki tahap krisis pangan yang bisa dilihat dari banyaknya impor produk pertanian, khususnya pangan," jelas politikus dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu.
Program revitalisasi pertanian yang digagas pemerintah banyak tidak terealisasi. Hal ini membuat komoditas sektor pertanian tak mampu menghasilkan produksi yang maksimal. "Tiap tahun pemerintah mengeluarkan sekitar Rp 50 triliun untuk membeli komoditas pangan, seperti jagung, beras, gandum, garam, dan yang lainnya," ujar Viva.
ROSALINA