TEMPO.CO , Jakarta - Tim peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang diterjunkan untuk menelusuri penyebab ambruknya jembatan Kutai Kartanegara menyatakan jembatan itu salah desain sejak belum dibangun. Runtuhnya jembatan ketika kegiatan pemeliharaan adalah bukti adanya kesalahan desain.
Beberapa hari setelah jembatan itu runtuh pada 26 November lalu, tim BPPT telah mengumpulkan sejumlah temuan yang diyakini sebagai pemicu ambruknya jembatan yang membelah sungai Mahakam itu. Sudarmadi, koordinator lapangan tim investigasi BPPT terhadap jembatan Kutai Kartanegara, mengatakan tim ahli yang diberangkatkan terdiri dari perekayasa dari Balai Besar Teknologi Kekuatan Struktur (B2TKS), Balai Teknologi Survey Kelautan (BTSK), dan Pusat Audit Teknologi. Tim di lapangan ada 19 orang, ditambah beberapa orang di laboratorium.
Ia mengatakan, temuan sementara tim BPPT menyatakan bahwa jembatan Kukar sudah salah desain sejak awal sebelum dibangun. "Jembatan runtuh ketika ada kegiatan pemeliharaan. Itu faktanya," kata Sudarmadi di Kantor BPPT, Selasa 27 Desember 2011.
Jembatan Kutai Kartanegara dibangun oleh PT Hutama Karya pada tahun 2001. Adapun pemeliharaan rutin jembatan dilakukan PT Bukaka.
Sudarmadi mengatakan, setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab ambruknya jembatan. Pertama, jembatan sudah mengalami deformasi, yakni perubahan bentuk. Berdasarkan data yang dihimpun tim, ada kemiringan atau lendutan pada tiang pylon (tiang penyangga jembatan) ke arah bentang utama atau bagian tengah jembatan (chamber).
Lengkungan pylon menyebabkan terjadinya penurunan chamber. Bentuk awal jembatan harusnya agak melengkung, tapi akibat pylon miring ke arah ke dalam, bagian tengah jembatan menjadi turun.
Akibat chamber turun, Sudarmadi mengatakan, tim pemeliharaan jembatan dari PT Bukaka memutuskan menaikkannya. Namun, tim pemeliharaan tidak mengerjakan secara cermat. "Diangkat chambernya padahal belum ketahuan sebenarnya penyebab (turunnya) apa. Main angkat saja," ujar dia menjelaskan faktor kedua.
Ditambah lagi pengangkatan hanya dilakukan pada satu per satu titik hanger (penggantung kabel penyangga) secara bergantian, padahal beban jembatan sangat besar.
Menurut Sudarmadi, pengangkatan chamber harusnya dilakukan dengan mengangkat hanger bersama-sama, minimal enam, masing-masing tiga hanger di tiap sisi jembatan.
"Dengan satu hanger diangkat itu, kemudian dikencangkan, akhirnya semua tumpuan beban tertumpu di hanger yang diangkat tadi," ujar dia menerangkan.
Padahal, lanjut dia, ketika hanger diangkat harus dipasang sensor untuk mengetahui besar tegangan yang terjadi di hanger. "Itu tidak dilakukan," kata dia.
Adanya pemusatan beban pada bagian tengah jembatan, serta adanya titik lemah di sambungan, menyebabkan terjadi konsentrasi tegangan yang melampaui kekuatan hanger, sehingga putus.
"Setelah putus, beban akan dialihkan ke hanger-hanger di sampingnya. Akibat beban kejut, dan beban tambahan, akhirnya hanger-hanger di sampingnya juga tidak kuat, lalu akhirnya ikut putus juga," ujar Sudarmadi menjelaskan bahwa hanger putus berentet dari bagian tengah ke pinggir jembatan.
Faktor ketiga yakni desain jembatan yang sejak awal keliru. Ia mengatakan, geometri sistem sambungan pada jembatan Kukar rawan menimbulkan konsentrasi tegangan (stress concentration) pada bagian tertentu. "Karena bentuknya yang terjadi perubahan penampang secara tiba-tiba," kata dia.
MAHARDIKA SATRIA HADI