TEMPO.CO , YOGYAKARTA :-- Usulan Kementerian Dalam Negeri berupa lima alternatif pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta membuat bingung Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X. "Ini kok jadi delapan, saya enggak ngerti. Semakin enggak fokus saja (pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY). Terus nanti happy ending-nya gimana?" kata Sultan, Rabu 28 Desember 2011.
Hal yang sama juga disampaikan anggota tim asistensi RUU Keistimewaan Yogyakarta, Achiel Suyanto. "Awalnya sudah diajukan tiga alternatif, sekarang lima alternatif, jadinya delapan kan? Itu bagaimana?" katanya.
Pemerintah pusat lewat Kementerian Dalam Negeri menambahkan lima usulan alternatif tentang pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY. Usulan itu disampaikan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan dalam rapat konsinyering bersama Panitia Kerja RUU Keistimewaan Yogyakarta dan dihadiri tim asistensi RUU Keistimewaan pada 15 Desember lalu di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta.
Lima alternatif pengisian jabatan yang terbaru meliputi: jika Hamengku Buwono dan Pakualam yang bertakhta maju alias mencalonkan diri dalam pemilihan gubernur, kerabat Kasultanan dan Pakualaman tidak boleh maju. Sebaliknya, masyarakat umum boleh maju. Opsi ini bertujuan menghindari perpecahan dalam kerabat Kasultanan dan Pakualaman.
Kedua, jika Hamengku Buwono dan Pakualam yang bertakhta tidak maju, kerabat keraton dan Pakualaman boleh maju hanya untuk posisi gubernur. Masyarakat umum pun boleh maju hanya sebagai kandidat gubernur. Opsi tersebut menyesuaikan RUU Pemilihan Kepala Daerah. Posisi wakil gubernur akan ditunjuk pemerintah pusat. "Ini kan aneh! Undang-undangnya belum jadi, kok disuruh menyesuaikan," kata Achiel.
Ketiga, jika Hamengku Buwono yang bertakhta tidak maju, Pakualam yang bertakhta tidak boleh maju. Adapun kedua pihak kerabat boleh maju sebagai gubernur ataupun wakilnya sesuai dengan paugeran. Masyarakat pun boleh maju hanya sebatas sebagai gubernur. Alasannya untuk menghargai kedua pihak kerabat.
Keempat, jika Hamengku Buwono dan Pakualam yang bertakhta tidak maju, kerabat Kasultanan maju sebagai gubernur yang ditetapkan sesuai dengan paugeran dan kerabat Pakualaman maju sebagai wakil gubernur yang ditetapkan sesuai dengan paugeran. Masyarakat umum pun boleh maju sebagai gubernur dan wakil gubernur. Opsi tersebut dinilai mengadopsi prinsip demokrasi dan menghargai hak warga negara.
Kelima, jika Hamengku Buwono dan Pakualam yang bertakhta tidak maju, kedua kerabat maju sebagai gubernur dan wakilnya. Masyarakat umum boleh maju sebagai gubernur, asalkan mendapat persetujuan dari Hamengku Buwono. Sebaliknya, jika masyarakat umum maju sebagai wakil gubernur, harus mendapat persetujuan Pakualam. Tapi opsi ini dinilai resistan karena dapat memecah belah masyarakat umum. "Alternatif-alternatif ini dicari-cari, enggak rasional," ujar Achiel.
Achiel menduga pemerintah pusat tidak menghendaki RUU Keistimewaan selesai pada 2012, mengingat sebelumnya sudah ada tiga opsi yang mengerucut untuk ditawarkan dari pemerintah: yang menjadi gubernur dan wakilnya Hamengku Buwono dan Pakualam yang bertakhta, kemudian kerabat Kasultanan dan Pakualaman bisa mencalonkan, serta masyarakat umum diperbolehkan mencalonkan diri. "Kalau pembaharuannya begini terus, ya, enggak akan selesai," kata Achiel.
Sultan pun mengingatkan soal diskusi dengan Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Reformasi Birokrasi Ryaas Rasyid terkait dengan perpanjangan kembali jabatan Sultan. "Itu kan sebetulnya eksplisit (pemerintah) mengakui penetapan. Kalau tidak, kan harus ada pejabat lain. Hanya mungkin (pengakuan) itu tak terucap," katanya.
Sultan pun menyatakan belum punya rencana ketika ditanyakan jika RUU Keistimewaan belum selesai, apakah masih bersedia jabatannya diperpanjang hingga jabatan Sultan sampai 2012 berakhir. "Kalau itu urusanku nanti," katanya.
l PITO AGUSTIN RUDIANA