TEMPO.CO, Jakarta - Menilik konflik agraria sepanjang 2011, tercatat 120 kasus meningkat, sekitar lima kali lipat dari jumlah kasus tahun 2010 yang tercatat 22 kasus. "Data ini belum termasuk konflik masyarakat tani di Bima," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih, Kamis, 29 Desember 2011.
Menurutnya, saat ini konflik agraria terjadi antara petani dengan perusahan swasta perkebunan, pertambangan, AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), dan BUMN. Konflik terjadi terus-menerus secara masif dan berlarut-larut. "Akibatnya, petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penggusuran, penembakan, serta berbagai bentuk kekerasan kriminalisasi," katanya.
Akar konflik, kata Ketua Departemen Kajian Strategis Nasional SPI Yakub, karena tidak dilaksanakannya pembaruan agraria yang telah direncanakan dan semakin sempitnya lahan. Dia menjelaskan tercatat 2.791 kasus pertanahan di Badan Pertanahan Nasional pada tahun 2011. "Kasus tanah tersebut adalah kasus pengadaan tanah yang berujung pelanggaran HAM," katanya.
Konflik di bidang pariwisata pun kemungkinan terbuka, seperti lahan pertanian di Pulau Komodo yang diambil pihak pariwisata. "Bahkan, di Bali juga akan terjadi konflik agraria pariwisata," kata Yakub.
Demi menghindari konflik, Serikat Petani meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia dalam bentuk Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria berdasarkan pada UUPA No. 5 Tahun 1960 dan UUD 1945.
AFRILIA SURYANIS