TEMPO.CO, Surabaya -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Sampang, Madura, menjamin keberlangsungan kelompok Syiah di kawasan itu. Pernyataan ini disampaikan Kepala Sub-Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Hesti Armiwulan, sesaat sebelum menggelar pertemuan tertutup dengan warga Syiah di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya, Senin, 2 Januari 2012
"Saya dengar ada wacana untuk merelokasi, itu melanggar HAM," kata Hesti Armiwulan. Menurutnya, negara harus menjamin kebebasan hidup warganya. Apalagi jika relokasi hanya dengan alasan perbedaan keyakinan.
Hal yang sama diungkapkan Kepala Sub-Komisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Kabul Supriyadi. Ia sependapat kejadian ini menjurus pada pelanggaran HAM, dengan adanya upaya pengusiran dengan cara membakar dan merusak rumah warga.
Komnas HAM akan meneliti kasus ini lebih lanjut dengan berkunjung ke Sampang pada Selasa, 3 Januari 2012. Ini untuk mengetahui secara pasti kronologi pembakaran rumah, sekolah, dan musala milik warga Syiah. Kabul berharap masalah ini bisa segera selesai. "Masalah Syiah dan Sunni ini yang kedua. Yang pertama di Pesantren Yapi Bangil beberapa waktu lalu," kata Kabul.
Di Bangil, Pasuruan, Komnas HAM mengaku berhasil mendamaikan dua kelompok yang bertikai dan mengawal kasus perusakan Pesantren Yapi hingga ke jalur pengadilan. Ia berharap hal yang sama bisa terjadi di Sampang.
Sementara itu, koordinator penasihat hukum Syiah dari Ahlul Bait Indonesia, Muhammad Hadun Hadar, mengaku sudah menghubungi Kepolisian Sampang dua jam sebelum terjadinya pembakaran. Saat dihubungi, menurut Hadun, polisi mengatakan sudah meluncurkan petugas. Namun polisi tak kunjung tiba. Kedua kalinya ia menanyakan ke polisi, jawabannya sama: sudah meluncur. "Ya, habislah rumah warga kalau polisinya terlambat terus," kata Hadun.
Hadun menduga pelanggaran HAM di Sampang sengaja dibiarkan oleh aparat kepolisian. Menurutnya, aparat kepolisian di lapangan bahkan sering menakut-nakuti warga Syiah yang masih bertahan di rumahnya untuk segera bertobat kembali ke ajaran Sunni.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya, Andy Irfan, melihat kekerasan terhadap kaum Syiah di Sampang tidak akan terjadi jika polisi sejak awal melakukan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Sejak April hingga Desember 2011, warga Syiah terus-menerus diancam. "Polisi sudah tahu dan membiarkan ini terjadi," kata Andy.
Selain menyayangkan lambannya polisi, Andy juga menyoroti lambannya pemerintah dalam memberikan bantuan bagi pengungsi korban Syiah. Dia mencontohkan, meski korban telah mengungsi sejak Kamis, 29 Desember 2011, para pengungsi baru mendapatkan bantuan selimut tidur pada hari Minggu, 1 Januari 2012.
Tak hanya itu, lokasi pengungsian di GOR Sampang juga tidak dilengkapi fasilitas dapur umum sehingga mayoritas anak-anak yang mengungsi tak bisa mandi dengan air panas. "Banyak anak sakit dan tenaga kesehatan sangat minim," ujar Andy.
Pada saat kejadian, Kepala Bagian Operasi Kepolisian Resor Sampang Komisaris Zainuri mengatakan, karena kalah jumlah, polisi belum bisa masuk ke lokasi. Pihaknya masih menunggu bantuan dari Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Resor Pamekasan.
FATKHURROHMAN TAUFIQ