TEMPO.CO, Parepare - Sebanyak 59 keluarga asal Jawa Timur memilih meninggalkan lokasi transmigrasi di Desa Keppe, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Mereka kecewa terhadap pemerintah setempat karena tidak memberikan permukiman dan lahan garapan.
"Waktu itu, saya mendapat undian nomor 99, ternyata rumah dengan nomor itu sudah dihuni warga lokal," kata Suparno, transmigran asal Ponorogo, saat ditemui di Pelabuhan Nusantara Parepare, Sulawesi Selatan, Senin, 2 Januari 2012.
Suparno, 45 tahun, merupakan bagian dari 59 keluarga yang memilih kembali ke kampungnya di Jawa Timur. Karena tak punya uang pulang, Suparno tertahan di pelabuhan sambil menunggu bantuan pemerintah setempat.
Suparno dan transmigran lainnya resmi diberangkatkan pada 16 Desember 2011 ke Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. "Permukiman semestinya menjadi hak kami, namun sudah diklaim warga setempat. Sementara pemerintah tidak bisa berbuat banyak," kata suparno.
Suparno dan istrinya, Lastriani, masih tertahan di Pelabuhan Parepare. "Sudah ada 10 keluarga dari Trenggalek dan 12 keluarga dari Ponorogo pulang ke Jawa. Saya tertahan di sini karena tidak punya biaya untuk naik kapal," ucap Suparno.
Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Barat Khaeruddin mengatakan, hingga saat ini, laporan hengkangnya sejumlah transmigrasi asal Jawa Timur belum ada. "Belum ada laporan terkait masalah itu," ujar Khaeruddin.
Namun Khaeruddin mengatakan keadaan yang sebenarnya tidak seperti yang diutarakan para transmigran yang pulang kampung itu. Menurut dia, transmigran banyak yang menjual lahan dari pemerintah. Hasil penjualan itu yang dipakai kembali ke kampung halaman. "Permasalahan seperti itu terjadi pada semua transmigran. Mereka tidak betah dengan kondisi di tempat baru," tutur Khaeruddin.
Diduga, mereka yang balik ke Jawa Timur sebelumnya sudah pernah terdaftar sebagai transmigran. Mereka yang dulunya kabur dan mendaftar lagi. "Ini yang dinamakan transmigran kutu loncat dan ini sulit untuk dideteksi," ucap Khaeruddin.
SUARDI GATTANG