TEMPO.CO, Yogyakarta - Para eksportir mebel dan kerajinan dari Daerah Istimewa Yogyakarta terancam mengalami kerugian puluhan miliar rupiah akibat penerapan peraturan Menteri Kuangan yang mengharuskan mereka mempunyai Nomor Identitas Kepabeanan (NIK). Peraturan itu mulai berlaku 1 Januari 2012 lalu.
"Saat ini sudah ada kontainer yang tertahan di Pelabuhan Semarang karena eksportir belum mempunyai NIK," kata Rahmat Sumardi, Ketua Divisi Advokasi Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu 4 Januari 2012 ini.
Padahal, kata dia, sosialisasi pembuatan NIK dari pemerintah sangat minim. Bahkan situs online yang digunakan untuk pengurusan nomor itu tidak bisa dibuka. Lebih dari 200 eksportir dari Yogyakarta kesulitan mengirim barang ekspor ke beberapa negara.
Ia mencontohkan satu eksportir besar rata-rata bisa mengirim 8 kontainer dengan nilai Rp 900 juta setiap bulannya. Jika dikalikan dengan jumlah para eksportir aktif dalam satu bulan yang rata-rata mencapai 50 eksportir, potensi kerugian sudah mencapai puluhan miliar rupiah. Rahmat membantah klaim Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengaku sudah mengeluarkan NIK untuk lebih dari 90 persen eksportir aktif.
Menurutnya, sosialisasi dari Bea dan Cukai soal kewajiban ini tidak gencar dilakukan. Para pelaku usaha mebel dan kerajinan--yang kebanyakan merupakan pengusaha kecil dan menengah--kesulitan memenuhi persyaratan yang diberlakukan seperti soal manajemen dan akuntansi perusahaan.
"Kami juga terancam pungutan liar. Soalnya kami harus segera kirim barang, tapi tak punya NIK," kata Rahmat.
Ketua Asmindo Ambar Tjahyono menyetujui pendapat Rahmat. Pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.04/2011 tentang Registrasi Kepabeanan, menurut dia, memberatkan eksportir mebel dan kerajinan. "Asmindo akan segera bertemu dengan Bea dan Cukai menanyakan kebijakan ini," kata dia.
MUH SYAIFULLAH