TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengakui pernah menerima surat dari Chairman and Chief Executive GDF Suez, Gerard Mestrallet. “Itu sudah lama saya terima,” ujar Hatta di Kantor Kementerian Perekonomian, Senin 9 Januari 2011.
Pernyataan ini menanggapi berita pemecatan bekas Direktur Utama Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM Jaya), Maurits Napitupulu, pada 22 Desember 2011, yang menyisakan tanda tanya. Sebab, dia belum genap separuh jalan memimpin badan usaha milik daerah itu. Bila tak ada yang luar biasa, seharusnya Maurits masih menjabat hingga Mei 2014.
Dugaan adanya tekanan dalam pencopotan Maurits sedikit tersingkap lantaran surat bertanggal 20 Juni 2011 yang dikirim Mestrallet kepada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Surat dalam bahasa Inggris itu menyebutkan bahwa Mestrallet meminta bantuan Menteri Hatta mencari solusi atas “kesulitan serius” yang dialami PT Palyja dalam proses renegosiasi kontrak dengan PAM Jaya. Perusahaan yang bermarkas di Paris, Prancis, ini berkepentingan mengamankan investasinya di Indonesia (Majalah Tempo, edisi 9-15 Januari 2012).
Lebih jauh Hatta menyatakan, “Saya memang memberikan disposisi terkait masalah renegosiasi ini. Tampaknya gubernur juga sudah bersedia membahas masalah tersebut,” katanya. Duta Besar Prancis pun sempat menyinggung hal tersebut ketika bertemu dengannya.
Ia menganggap normal keluhan dan permintaan klarifikasi Duta Prancis kepadanya. “Kalau pengusaha kita di luar negeri juga kan seperti itu, it’s normal lah. Duta besar meminta saya untuk mengkaji permasalahan ini, dan tentunya yang paling tepat untuk membahas renegosiasi adalah Gubernur DKI Fauzi Bowo,” kata Hatta.
Seperti diketahui, sejak kontrak diteken pada tahun 2007 sampai 2010, PAM Jaya menanggung akumulasi kerugian atas beban utang imbalan air (shortfall) hingga Rp 610 miliar. Sedangkan tunggakan tagihan pelanggan yang menumpuk mencapai Rp. 530 miliar. Ekuitas PAM Jaya sendiri menjadi minus Rp 985 miliar dan asetnya menyusut menjadi Rp 204 miliar.
PT Pam Lyonniase Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta sendiri justru menuai laba sejak kontrak tersebut ditandatangani. Palyja menabung Rp 898 miliar, ini senilai dengan separuh aset yang dimilikinya. PT Aetra berhasil menggaet laba Rp 27,9 miliar, lebih tinggi dengan periode yang sama tahun lalu Rp 16,4 miliar.
SUBKHAN