TEMPO.CO, Denpasar - Aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bali, Senin, 9 Januari 2011, mencanangkan gerakan pengumpulan koin Rp 1.000. Aksi dilakukan untuk menyikapi semakin banyaknya anak di bawah umur menjalani proses hukum hingga ke pengadilan. “Seharusnya aparat penegak hukum menempuh restorative justice,” kata Ketua LPA Bali Ni Nyoman Masni.
Menurut Masni, dalam prinsip restorative justice, pelanggaran pidana yang dilakukan anak-anak tidak boleh disertai penahanan. Sebab, hal itu justru akan merusak mental dan masa depan si anak. “Apalagi barang buktinya sangat kecil,” ujarnya.
Prinsip restorative justice mengacu pada surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Hukum dan HAM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, dan Menteri Sosial. Tiga kementerian tersebut menyepakati penerapan restorative justice terhadap kasus yang melibatkan anak di bawah umur.
Masni memaparkan, di Bali, banyak kasus sepele yang menjerat anak-anak dan harus menjalani proses hukum. Saat ini menimpa DW, 14 tahun, yang didakwa menjambret uang Rp 1.000.
Kasus DW yang masih duduk di kelas I SMP swasta di Denpasar terjadi pada 13 Maret 2011 sekitar pukul 23.00 WITA. Kala itu, DW bersama rekannya, A, melintas dengan sepeda motor di Jalan Ahmad Yani, Denpasar. Keduanya menjambret tas Ni Kade Susilawati yang juga sedang mengendarai sepeda motor.
Warga yang mendengar teriakan minta tolong Susilawati menangkap DW yang terjatuh dari sepeda motornya. Atas perbuatannya, DW dijerat dengan Pasal 363 ayat 1 ke 4 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Kasus lainnya terjadi di Klungkung. Seorang anak diganjar hukuman pidana karena mencuri tiga plastik dupa. Adapun di Gianyar, seorang anak berusia sembilan tahun mencuri petasan senilai tak lebih dari Rp 5.000 ditangkap polisi.
Masni berharap tak ada lagi anak di bawah umur yang diproses secara hukum, apalagi dijebloskan ke penjara. Sebab, setelah menjalani masa hukumannya, maka label pencuri pada si anak pasti melekat.
Tokoh perlindungan anak, Seto Mulyadi, yang menghadiri acara gerakan pengumpulan koin Rp 1.000 menyatakan penjara dan pengadilan pidana bukanlah tempat yang tepat bagi anak-anak. “Kita membutuhkan gerakan bersama untuk mencegahnya,” ucapnya.
Seto mengatakan sudah membicarakan masalah tersebut bersama Kapolri dan Menkum HAM. Namun sosialisasi di tingkat daerah belum cukup luas.
Kasus yang melibatkan anak-anak di Indonesia, menurut Seto, setiap tahunnya mencapai tak kurang dari 4.000 kasus. Sebagian kasus juga terjadi karena aparat memaksa anak-anak untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. “Anak-anak itu harus diselamatkan dari penjara,” tuturnya. Dia juga membantah anggapan bahwa untuk membebaskan anak-anak haruslah disediakan uang jaminan dalam jumlah yang cukup besar.
ROFIQI HASAN