TEMPO.CO, Ternate - Keberadaan tujuh bahasa daerah di Maluku Utara terancam punah. Hal ini seiring mulai berkurangnya penutur bahasa tersebut di masyarakat dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Kepala Pusat Bahasa Provinsi Maluku Utara Sanggo A. Siruah mengatakan, dari 30 bahasa daerah yang ada di Maluku Utara, ada tujuh bahasa daerah yang penuturnya kurang dari seribu orang. Bahasa tersebut rata-rata merupakan bahasa yang berada di pedalaman Pulau Halmahera.
“Sebenarnya satu bahasa daerah seperti bahasa ibu sudah tidak lagi dipergunakan sebagai sarana komunikasi oleh masyarakat. Karena itu, ancaman kepunahan bahasa daerah di Maluku Utara sangatlah tinggi,” kata Sanggo kepada Tempo, Kamis, 12 Januari 2012.
Menurut Sanggo, dari hasil penelitian Pusat Bahasa Provinsi Maluku Utara, sebenarnya terdapat 30 bahasa yang dikelompokkan dalam 17 kelompok bahasa daerah di Maluku Utara. Dari jumlah tersebut, satu bahasa sudah dinyatakan punah dan tujuh terancam punah. Oleh karena itu, masalah ini harus bisa menjadi perhatian pemerintah daerah.
“Kalau tidak, saya khawatir kita hanya akan melihat bahasa daerah Maluku Utara dalam buku sejarah. Karena itu, bahasa daerah harus kita lestarikan,” ujarnya.
Sanggo mengatakan kepunahan bahasa daerah di Maluku Utara umumnya disebabkan perkembangan teknologi dan pengaruh penggunaan bahasa modern yang cukup pesat. Selain itu, faktor geografi serta psikologi masyarakat juga semakin mendorong kepunahan bahasa daerah. Sebab, masyarakat lebih senang menggunakan bahasa modern ketimbang bahasa lokal.
“Bagaimana pun juga, kondisi itu jelas sangat mengkhawatirkan kelangsungan hidup bahasa-bahasa daerah, terutama yang memiliki penutur kurang dari 500 orang,” ungkapnya.
Sementara, Abdul Aziz Marsaoly, salah satu peneliti bahasa Maluku Utara, menuturkan, kepunahan bahasa lokal Maluku Utara sesungguhnya memang dipengaruhi banyak faktor, seperti perkembangan teknologi dan bahasa modern. Tetapi, aspek lain sesungguhnya terletak pada minimnya peran serta pemerintah daerah dalam melestarikan bahasa daerah menjadi muatan lokal.
“Seharusnya bahasa daerah diajarkan di sekolah melalui pelajaran muatan lokal. Kalau langkah ini diambil, saya yakin kelestarian bahasa daerah Maluku Utara tetap akan terjaga,” kata Aziz kepada Tempo, Kamis, 12 Januari 2012.
Staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini menambahkan, bahasa daerah di Maluku Utara umumnya merupakan bahasa serumpun. Hanya saja, penuturannya kadang kala berbeda. Karena itu, untuk melestarikan bahasa daerah, harus ada komitmen dari pemerintah.
“Sejumlah daerah di indonesia saja sudah bisa menjadikan bahasa daerah sebagai pelajaran muatan lokal. Jadi, komitmen pemerintah daerah sangatlah penting untuk melestarikan bahasa daerah di Maluku Utara. Itu yang saya kira dibutuhkan saat ini,” ungkap Aziz.
BUDHY NURGIANTO