TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Maria Ulfah Anshor meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghapuskan penjara anak. Anak tidak semestinya dipidana, tapi dikembalikan kepada orang tuanya.
"Penghapusan penjara anak merupakan bagian dari perbaikan sistemik sebagai upaya melindungi anak dari ancaman pidana. Anak sebagai pelaku kriminal harus diberi pembinaan dan intervensi yang tepat, bukan penjara," ujar Maria Ulfah saat mengunjungi Rutan Pondok Bambu, Jumat 13 Januari 2012.
Kondisi penjara anak saat ini dinilai Maria amat memprihatinkan. Dari 32 tahanan anak yang diwawancarai KPAI, 18 di antaranya menyatakan pernah dianiaya selama ditahan. Hal semacam inilah yang bisa mengganggu perkembangan anak.
Maria menyebut meninggalnya dua anak di tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat, sebagai contoh kasus terburuk. Ada pula kasus tahanan anak di Surabaya yang tewas dikeroyok tahanan lain.
Melihat sejumlah kasus tahanan anak yang terjadi baru-baru ini, Maria berharap Presiden segera mengimbau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mahkamah Agung, Jaksa Agung, serta Kepolisian RI agar mencegah anak masuk tahanan. "Pembubarannya akan menyelamatkan masa depan mereka," ujarnya.
Dia menambahkan penghapusan penjara anak akan membuat keuangan negara lebih efisien. "Biaya operasional penjara amat besar. Bisa dialokasikan untuk menyediakan program intervensi yang tepat, seperti rehabilitasi," kata Maria.
Dalam kunjungan ke Rutan Pondok Bambu tersebut, KPAI dan pendukung Aksi 1.000 Sandal membagikan 200 sandal kepada anak-anak yang berada dalam rutan. Alas kaki yang dibagikan itu merupakan hasil pengumpulan sandal oleh Posko Seribu Sandal, yang berhasil mengumpulkan 1.300-an sandal. "Sekitar 250 sandal sudah dibagikan. Seratus untuk Mabes Polri, 50 untuk Kejaksaan, lalu Komisi Yudisial 50, dan Mahkamah Agung 50," ujar Budi Kurniawan, Koordinator Aksi 1.000 Sandal untuk AAL.
Aksi pengumpulan sandal dimulai setelah pemberitaan tentang tiga remaja, AAL, 15 tahun, FD (14), dan MSH (16), yang dituduh mencuri sandal milik polisi mencuat. Briptu Rusli dan Simson Sipayung sebagai pemilik sandal menganiaya ketiga remaja tersebut. Orang tua AAL kemudian melaporkan kedua polisi tersebut ke Propam Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah.
Namun laporan ini justru berbalas tuntutan pidana bagi AAL. Akhirnya AAL divonis bersalah di pengadilan. Masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat bersimpati terhadap kasus yang mengoyak rasa keadilan tersebut. Mereka akhirnya memobilisasi Aksi 1.000 Sandal untuk AAL.
Saat menyerahkan sandal, wartawan tidak diizinkan masuk dengan alasan tidak ada izin tertulis dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.
l M. ANDI PERDANA | ANANDA PUTRI