TEMPO.CO - Jam menunjuk pukul 12.30 ketika Tempo tiba di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat. Hari itu, Kamis 5 Januari 2012, Tempo mendapat kesempatan, bersama kantor Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, mengunjungi sebuah desa di ujung luar Indonesia. Sebuah desa kecil di perbatasan Indonesia-Malaysia yang sempat menjadi buah bibir patok perbatasan, Desa Camar Bulan.
Setibanya di bandara, kami dijemput salah satu utusan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan dibawa ke kantor gubernur. Kami sempat beristirahat sejenak di kantor tersebut sebelum memulai perjalanan menuju desa di tepi pantai itu.
Sekitar pukul 17.00 WIB roda mobil gardan ganda yang kami tumpangi pun berjalan. Tahap pertama kami akan menuju Kabupaten Sambas, kabupaten yang menaungi Camar Bulan. Jaraknya sekitar 225 kilometer, cukup jauh. Cuaca alam Kalimantan saat itu sangat tak menentu. Terik matahari dan kucuran air hujan bisa berubah dengan seketika. Saat matahari terik, sengatan begitu terasa membakar kulit, maklum daerah garis khatulistiwa.
Jalan lintas Kalimantan yang kami lalui tak begitu besar. Hanya pas dilewati dua mobil jika berpapasan. Kontur jalannya sendiri juga tak menentu, terkadang begitu halus bak sirkuit balap mobil, tapi banyak pula jalan aspal bergelombang seperti lintasan balap off-road. Kanan-kiri jalan kebanyakan hanya lahan kosong dengan pepohonan dan rumput ilalang, namun sesekali diselingi rumah-rumah warga.
Saat malam tiba, jalur lintas Kalimantan yang kami lewati sangat gelap. Lampu penerangan sangatlah minim, bahkan hampir sepanjang jalan hanya lampu mobil kami yang menuntun si pengemudi. Karena jalanan sangat lengang, mobil yang kami tumpangi rata-rata berlari di kisaran 70 kilometer per jam. Cukup ngeri ketika berpapasan dengan mobil lain, terutama truk yang sama-sama berkecepatan tinggi.
Setidaknya kami membutuhkan waktu enam jam untuk tiba di Kabupaten Sambas. Kami tiba di Sambas sekitar pukul 23.00 WIB. Langsung kami beristirahat di sebuah losmen sederhana bernama Linsay. Tepat di depan losmen berdiri rumah duka dengan huruf Tiongkok, cukup merinding rasanya.