TEMPO.CO, Jakarta - Selama ini seniman Bali sering dipandang sebatas sebagai pemuja keindahan. Kurang kritis dan cenderung hanya mereproduksi kekayaan alam dan budaya daerah ini. Tapi anggapan itu harus diubah bila melihat pameran lukisan I Made ‘Bayak’ Muliana yang digelar di Griya Santrian Gallery Sanur.
Dalam pameran yang berlangsung hingga 2 Maret 2012 ini, Bayak memajang 12 lukisan dan dua seni instalasi. Seluruhnya merupakan cara pandang yang kritis terhadap Bali. “Selama ini Bali dicitrakan sebagai pulau surga, padahal begitu banyak kenyataan pahit yang terjadi,” ujar Bayak, Jumat, 20 Januari 2012. Seperti pencaplokan tanah tepi pantai, tanah milik pura, dan tanah di tepi tebing.
Menurut Bayak, di Bali, semua hal bisa dikemas dan dijual demi industri pariwisata. Lukisan-lukisan ala Pasar Sukawati, kata dia, merupakan salah satu sumber kebohongan tentang Bali karena masih menampilkan obyek-obyek Mooi Indie yang sungguh jauh dari kenyataan sebenarnya.
Bayak sendiri adalah perupa kelahiran Gianyar, 27 Juni 1980. Tamatan ISI Denpasar ini selain melukis juga menuangkan gagasan-gagasan dan sikap kritisnya melalui karya mural (lukisan dinding), seni instalasi, object art, performance art, bahkan musik rock. Dia juga sering berkolaborasi dengan para aktivis LSM untuk menyuarakan persoalan-persoalan lingkungan.
Karya-karya seni lukis yang ditampilkan Bayak kali ini cukup unik karena dibuat di atas lukisan-lukisan yang sudah jadi. Dalam hal ini, Bayak merespons dan memparodikan lukisan-lukisan tiruan bergaya Mooi Indie yang dibelinya di Pasar Seni Sukawati, seperti lukisan dengan obyek pemandangan alam, wanita telanjang, pasar rakyat, Pura Tanah Lot, Pura Ulun Danu, dan sebagainya.
Lukisan-lukisan yang ditampilkan Bayak ditargetkan untuk “mengganggu” pemirsa sehingga mampu memahami dan merenungi berbagai kenyataan yang terjadi di Bali. Misalnya, lukisan yang menampilkan alam pegunungan, direspons oleh Bayak dengan menambah obyek kontras dan ironis. Seperti bangunan bertingkat, tembok beton, papan reklame penjualan tanah, buldoser, dan sebagainya.
Melalui lukisan ini, Bayak ingin mengatakan bahwa begitu banyak lahan produktif di Bali yang telah beralih fungsi menjadi bangunan permukiman, perkantoran, hotel, vila, restoran, dan sebagainya.
Menurut kurator Wayan ‘Jengki’ Sunarta, pameran ini disiapkan hanya dalam waktu dua bulan. Mulai dari proses diskusi intensif berkaitan dengan gagasan-gagasan Bayak, pengumpulan bahan, pengerjaan, hingga display karya. Pameran ini tidaklah bertujuan untuk menampilkan kecakapan teknis maupun kecanggihan pencapaian estetika yang sudah stagnan.
Dengan pernyataan lain, buat apa melukis perihal keindahan atau eksotisme jika lukisan semacam itu dengan mudah ditemui di pasar seni sebagai benda suvenir atau kerajinan? Pameran parodi ini dirancang untuk mewadahi “gagasan”, “suara”, atau “opini” dalam menyikapi berbagai rupa persoalan yang menyeruak di Bali.
ROFIQI HASAN