TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama, Kementerian Agama, Abdul Fatah, mengatakan bahwa penyelesaian pada kasus GKI Yasmin harus dilakukan secara sosiologis dan psikologis. Perlu terus dilakukan pendekatan dan musyawarah dengan jemaat GKI Yasmin dan masyarakat.
”Penyelesaiannya harus secara sosiologis dan psikologis. Kita buat smooth semua. Semua pihak harus menahan diri dulu, kasus ini harus diselesaikan secara arif,” kata Abdul di kantor Kementerian Agama, Jumat, 20 Januari.
Kasus GKI Yasmin sudah memasuki tahun ketiga, namun belum juga menunjukkan titik terang. Padahal, secara formal, pembangunan gereja tersebut sudah memiliki kekuatan hukum tetap dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung (MA) dan Ombudsman RI yang menyatakan bahwa izin mendirikan bangunan GKI Yasmin sah.
Menurut Abdul, pemerintah sudah menunjukkan tanggung jawabnya dengan memberikan tempat bagi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah selama masyarakat belum mengizinkan mereka beribadah di lokasi sengketa. Hal ini merupakan wujud dari jaminan negara kepada warga negaranya untuk beribadah sesuai dengan agama yang diyakini. Namun, sampai saat ini, para jemaat belum melaksanakan ibadah di tempat itu. "Mereka (jemaat GKI Yasmin) sampai saat ini baru dalam tahap survei ke tempat tersebut, belum beribadah di situ," katanya.
Masalah yang berlarut-larut ini muncul karena ada larangan bagi jemaat GKI Yasmin untuk beribadah di bangunan yang berada di Jalan K.H. Abdullah bin Nuh, Bogor, Jawa Barat, itu.
Pemerintahan Kota Bogor sempat menolak IMB gereja, tetapi sudah dimentahkan oleh keputusan MA dan Ombudsman RI. Meski sudah ada keputusan dari MA dan Ombudsman RI yang menjaminnya, sampai saat ini jemaat GKI Yasmin belum bebas beribadah karena penolakan dari warga masih kerap terjadi.
MITRA TARIGAN