Ben, yang sejak tahun 1970 sudah melakukan penelitian di pedesaan Indonesia itu, mengungkapkan, lahan pertanian saat ini lebih banyak dikuasai generasi tua. Sementara generasi muda sulit untuk mendapatkan lahan pertanian. Para pemuda setidaknya harus menunggu jika ada pembagian tanah dari orang tuanya atau menunggu hingga orang tuanya tiada, kata Ben. " Jadi paling tidak harus menunggu 30-40 tahun untuk jadi petani."
Menurut dia, soal ini yang turut memicu tingginya tingkat pengangguran saat ini. Ia menyebut sekitar 70 persen masyarakat miskin di seluruh dunia berada di pedesaan. Dari jumlah tersebut, 80 persennya bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu, kebijakan penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian perlu dipikirkan lagi oleh pemerintah. Salah satunya dengan pemberian akses kepemilikan lahan, kata dia.
Tak adanya akses pada kepemlikian lahan ini, menurutnya, akan mengancam masa depan pertanian di Indonesia karena akan makin mengurangi minat pemuda menjadi petani. Terlebih dalam pendidikan sekolah di Indonesia saat ini para remaja itu tidak diajarkan untuk jadi petani. Anak yang membantu orangtuanya bertani, setelah atau sebelum sekolah, dianggap tidak baik. Ini kesalahan pemikiran yang selama ini selalu mengadopsi konsep barat, kata dia.
Pemberian akses kepemilikan lahan itu, dicontohkan Ben, bisa melihat dari praktik di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta, di masa lalu. Di situ dulu, pemuda yang menganggur cukup datang ke kepala desa untuk minta lahan agar bisa digarap. Ini bisa diterapkan lagi dengan misalnya pengembangan pertanian skala kecil, kata dia.
Pertanian skala kecil untuk pemuda itu dinilai akan membantu mengentaskan persoalan kemiskinan, tapi itu harus diikuti dengan akses kepemilikan lahan yang diberikan negara. Pertanian skala kecil juga mendukung pelestarian bumi ketimbang pertanian dengan skala besar yang lebih banyak merusak hutan, kata Ben.
PRIBADI WICAKSONO