TEMPO.CO, Kupang - Warga enam suku Timor mengancam akan menutup Bandara El Tari Kupang, Nusa Tenggara Timur, terkait kepemilikan tanah seluas 543 hektare yang kini dikuasai TNI Angkatan Udara, yang sebagian digunakan sebagai pangkalan udara.
"Kami akan tetap menutup Bandara El Tari karena bandara itu dibangun di atas lahan kami," kata Daniel Neno, salah seorang kepala suku, ketika bertemu Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Esthon Foenay di Kupang, Sabtu, 21 Januari 2012.
Enam suku tersebut, yakni Suku Sabaat, Tafoki, Takuba, Ome, Lael, dan suku Banu. Mereka menuntut dilakukan sumpah adat sebelum melanjutkan pembahasan tentang masalah kepemilikan tanah tersebut. "Kami sudah membawa tanah dari bandara untuk sumpah adat," ujar Daniel.
Tantangan enam suku untuk melakukan sumpah adat tidak mendapat respons positif dari pihak TNI-AU dan Pemerintah Provinsi NTT maupun Pemerintah Kabupaten Kupang. Padahal, meskipun yakin sebagai pemilik lahan, warga enam suku tersebut berkukuh melakukan sumpah adat untuk lebih memastikannya sekaligus untuk membuktikan kebenaran klaim TNI-AU sebagai pemilik. Apalagi sertifikat hak pakai yang dijadikan alasan TNI-AU yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional NTT dipertanyakan keabsahannya.
Dalam penjelasannya, Kepala BPN NTT Yance Tuwera mengatakan pengurusan sertifikat atas tanah itu sudah sesuai prosedur yang berlaku karena ada dasar pengajuan dari pihak TNI. Dasar pengajuan pembuatan sertifikat adalah Surat Keputusan (SK) Panglima Perang Tahun 1950 dan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Tahun 1968. Atas dasar itulah diterbitkan sertifikat pada 13 Juni 1969 untuk hak pakai dengan jangka waktu 30 tahun. Sertifikat itu diperbarui lagi pada 1 April 1983. "Kami keluarkan sertifikat atas usul TNI-AU," ucap Yance.
Kepala Bidang Hukum TNI-AU Bandara El Tari Kupang, Anggoro, mengatakan usulan untuk mendapatkan sertifikat hak pakai karena tanah tersebut milik negara. Menurut Anggoro, sengketa tanah tersebut sudah diselesaikan melalui jalur hukum. Hak pakai oleh TNI-AU diperluas putusan Mahkamah Agung. "Kami harus mengamankan tanah negara. Kalau warga enam suku Timor tidak puas, silakan menempuh upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung," ujar Anggoro.
Menanggapi tantangan Anggoro, Daniel justru mengungkapkan bahwa TNI-AU menyewakan bagian dari tanah enam suku seluas lima hektare kepada PT Angkasa Pura. "Seolah-olah itu tanah milik mereka (TNI-AU,” tutur Daniel.
Menurut Daniel, warga mengeluhkan praktek pungli yang dilakukan oknum TNI-AU kepada warga yang bercocok tanam di lahan tersebut. "Kami mau menanam tanaman di lahan kami, tapi harus terlebih dahulu membayar kepada oknum TNI," ucap Daniel mengungkapkan.
Pertemuan yang difasilitasi Wakil Gubernur NTT tesebut mengalami deadlock. Wagub Esthon Foenay menyarankan kedua belah pihak untuk mengambil langkah-langkah penyelesaian secara formal maupun nonformal. "Pendekatan nonformal agar warga diberikan kebebasan bercocok tanam di lahan tersebut," kata Esthon Foenay.
Pertemuan untuk membahas penyelesaian sengketa lahan antar-enam suku dengan TNI-AU diagendakan akan dilanjutkan kembali hingga ditemukan solusi yang adil bagi kedua belah pihak.
Sebelumnya, yakni Selasa pagi, 17 Januari 2012, ratusan warga enam suku tersebut berupaya menduduki Bandara El Tari. Mereka mencoba memasuki kawasan runway di sebelah timur. Namun upaya mereka digagalkan aparat kepolisian dan TNI-AU.
YOHANES SEO