TEMPO Interaktif, Takalar- Ratusan warga Polongbangkeng, Takalar, Sulawesi Selatan, melakukan aksi pawai di lahan yang dikuasai PTPN XIV di lokasi pabrik gula Takalar, Minggu, 22 Januari 2012. Warga menuntut lahan seluas 4.500 hektare lebih karena hak guna usaha yang dimiliki perkebunan itu mereka nilai sudah tidak berlaku lagi.
"Kami meminta pemerintah memberikan ganti rugi terhadap lahan milik warga," kata Zulkarnain, dari Front Perjuangan Rakyat Sulsel, yang melakukan advokasi terhadap masyarakat setempat.
Sedikitnya ada 400 warga di Kecamatan Polongbangkeng Utara dan Selatan melakukan aksi pawai. Dua kecamatan itu meliputi tujuh desa yang lahannya dikuasai PTPN XIV. Warga berpawai mengendarai sepeda motor dan mematok plang di atas lahan yang dikuasai PTPN XIV. Sengketa lahan antara warga dan PTPN telah berlangsung sejak 2009. Warga mengklaim sertifikat hak guna usaha sudah tidak berlaku sejak enam tahun lalu.
Zulkarnain mengatakan hak PTPN atas lahan itu sudah tidak berlaku lagi sejak 2006. "Nah, rentang waktu itu ada indikasi kekerasan secara psikis yang dilakukan aparat terhadap warga. PTPN mengklaim lahan itu bersertifikat," kata dia. Aksi pawai itu berlangsung aman.
Adam Kurniawan, dari serikat tani Polongbangkeng, mengatakan aksi pawai ini menunjukkan kasus agraria di Indonesia tidak hanya terjadi di wilayah Bima, Nusata Tenggara Barat, dan Mesuji, Lampung. "Tapi di Takalar pun masyarakat terintimidasi oleh sikap aparat," ucapnya.
Pejabat hubungan masyarakat PTPN XIV, Bahrun, mengatakan aksi pawai warga tak beralasan. Sebab, PTPN memiliki hak dari sertifikat hak guna usaha. "Sebenarnya tidak ada alasan warga berpawai karena kami memiliki hak guna usaha," ucapnya.
Menurut dia, lahan warga telah diganti rugi sejak 1980-an dan 1990-an. "Saya bisa memperlihatkan sertifikatnya. Lagi pula warga di sana juga kami rekrut sebagai pegawai," ucapnya. Dia mengatakan aksi warga dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. "Silakan, kami perlihatkan kalau kami punya izin untuk mengelola lahan itu," ucapnya.
ICHSAN AMIN