TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementerian Perikanan dan Kelautan, Saut Hutagalung menyatakan hingga kini masih melakukan verifikasi terhadap hasil temuan pemerintah Hong Kong yang menyebut ikan asal Indonesia mengandung merkuri 0,93 ppm. Saut berjanji, hasil verifikasi bisa dikeluarkan.
"Hingga hari ini kami belum bisa mengklarifikasi ke otoritas Hong Kong. Di sana masih libur Imlek," kata Saut saat dihubungi, Selasa, 24 Januari 2012.
Selama ini yang diekspor ke Hong Kong ada beberapa jenis ikan dan udang. Salah satu di antaranya jenis ikan yang paling banyak diminta pembeli di wilayah itu adalah ikan kerapu hidup.
"Tetapi jenis ikan apa yang ditengarai mengandung merkuri dan seperti apa kontainer pengiriman ikan kita itu, kami belum tahu," ujar Saut.
Pengamat perikanan dari Institut Pertanian Bogor, Arif Satria, menduga ada kemungkinan laporan tersebut sebagai bagian dari tindakan retaliasi dari Cina terhadap penolakan ekspor dari negeri itu oleh Indonesia. Sebab, Hong Kong bukanlah wilayah yang memiliki wilayah perairan dan jumlah nelayan yang perlu dilindungi dari ancaman produk impor. "Pada satu sisi, Hong Kong sangat membutuhkan produk perikanan kita.”
Sehingga, sangat kecil kemungkinan laporan tersebut merupakan bagian dari instrumen hambatan non tarif pemerintah Hong Kong untuk menghambat ekspor ikan Indonesia. "Tetapi ini masih perlu klarifikasi lebih jauh, karena Hong Kong meski bagian dari Cina tetapi menjadi wilayah otonom,” katanya.
Meski demikian, Arif tak memungkiri kemungkinan ikan asal Indonesia tercemar merkuri, terutama ikan yang ditangkap di beberapa wilayah yang mengalami pencemaran laut seperti teluk Jakarta. Tetapi, lanjut dia, wilayah perairan di Indonesia yang saat ini tercemar merkuri kurang dari 5 persen.
Dia menegaskan, meski isu kandungan merkuri tersebut nantinya tidak terbukti, pemerintah diharapkan tetap melakukan pembenahan terhadap manajemen ekosistem wilayah perikanan dan penangkapan ikan. "Sebab, sumber daya perikanan Indonesia saat ini sudah dalam tahap kritis," ucapnya.
Dia menyebut, dari potensi lestari yang mencapai 6,4 juta ton per tahun yang dieksploitasi mencapai 5,3 juta ton saban tahun. "Bahkan, beberapa wilayah seperti di Laut Jawa dan Arafura sudah overfishing, akhirnya wilayah yang ekosistemnya tercemar pun menjadi sasaran," kata Arif.
ARIF ARIANTO