TEMPO.CO, Jakarta -Setelah mendapatkan predikat layak investasi atau investment grade dari dua lembaga pemeringkat, Fitch Ratings dan Moody's, penerbitan obligasi Indonesia diprediksi bakal bertumbuh. Ini terlihat dengan banyaknya penawaran global bond Indonesia yang berdenominasi dolar Amerika Serikat pada akhir 2011 hingga awal tahun ini.
"Bahkan dengan memperoleh yield dan kupon terendah sepanjang masa untuk masing-masing tenor yang ditawarkan," ujar Presiden Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia, Ignatius Girendroheru, Kamis, 26 Januari 2012.
Pada 17 Januari lalu, penerbitan global bond memiliki bunga yang rendah yaitu 5,25 persen. Jika S&P menyusul lembaga pemeringkat lainnya memberikan peringkat layak investasi, dia yakin obligasi akan meningkat lebih tinggi.
"Dengan kondisi saat ini saja sudah bagus. Karena ada sejumlah negara yang ingin membeli surat utang dari negara yang memiliki investment grade," katanya.
Perlambatan ekonomi global yang mulai terasa sejak tahun lalu itu, menurutnya, harus selalu diwaspadai. Eropa diprediksi mengalami perlambatan ekonomi -0,2 persen hingga akhir tahun ini. Sedangkan Amerika Serikat hanya tumbuh 2,1 persen.
Meski dibayangi oleh perlambatan ekonomi dan krisis global, Indonesia masih bisa bertahan dengan kuatnya permintaan domestik dan tidak bergantungnya perekonomian Indonesia dengan luar negeri. Ini yang menyebabkan obligasi dalam negeri masih terus bertumbuh sepanjang tahun lalu.
Pada 2011, total penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto mencapai Rp 211,2 triliun. Ini tumbuh 26 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan total penerbitan obligasi korporasi mencapai Rp 45,08 triliun atau meningkat 15,39 persen dibandingkan 2010.
"Pada tahun ini, pemerintah menargetkan penerbitan SBN bruto mencapai Rp 240,33 triliun," katanya.
Penerbitan obligasi pada tahun ini juga didorong oleh besarnya obligasi yang akan jatuh tempo hingga akhir 2012 yang mencapai Rp 117,42 triliun. Itu terdiri dari obligasi pemerintah sebanyak Rp 91,1 triliun dan obligasi korporasi Rp 26,32 triliun.
Peningkatan jumlah obligasi ini juga didorong karena adanya kebiasaan dari pemerintah maupun korporasi yang mengeluarkan obligasi untuk membayar obligasi yang jatuh tempo dengan menerbitkan obligasi kembali (debt switching).
Penerbitan obligasi korporasi juga akan meningkat dibandingkan tahun lalu. Ini melihat semakin besarnya kebutuhan korporasi, khususnya sektor perbankan dan pembiayaan untuk memperoleh dana segar.
"Korporasi merasa menerbitkan obligasi lebih murah ketimbang meminjam di perbankan," ujarnya.
SUTJI DECILYA