TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi mengatakan pajak untuk warung kecil yang diterapkan mulai Januari 2012 tidak hanya diterapkan di Ibu Kota. “Di kota lain juga ada, tapi masuknya pajak kota atau kabupaten,” kata Iwan dalam jumpa pers di Gedung Teknis, Jakarta, Rabu 1 Februari 2012.
Iwan menjelaskan bahwa pajak yang diterapkan untuk warteg merupakan bagian dari Revisi Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Dalam revisi peraturan daerah itu tertuang bahwa batas tidak kena pajak adalah rumah makan yang memiliki omzet kurang dari Rp 200 juta per tahun.
Sebelum revisi perda ini berlaku, warteg sudah masuk dalam rumah makan terkena pajak karena adanya Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pajak Restoran. Dalam Perda 8/2003 itu batas tidak kena pajak adalah rumah makan yang memiliki omzet kurang dari Rp 30 juta per tahun.
Perubahan revisi pajak restoran mengacu pada Revisi Undang–Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak dan retribusi daerah. Dalam revisi itu definisi restoran mencakup semua bentuk usaha penyedia makan dan minum.
Iwan menjelaskan,dalam rancangan revisi pajak restoran pada 2009, batas tidak kena pajak rumah makan yang semula kurang dari Rp 30 juta per tahun dinaikkan menjadi Rp 60 juta per tahun. “Namun saat itu ada banyak pihak yang menganggap angka Rp 60 juta terlalu rendah,” katanya.
Akibatnya, Gubernur menunda peraturan tersebut dan meminta adanya evaluasi batas tidak kena pajak ke Badan Legislasi Daerah DPRD DKI Jakarta. Balegda bersama Komisi C lantas mengadakan public hearing dengan pihak–pihak yang berkeberatan dengan batas kena pajak, di antaranya Koperasi Warung Tegal (Kowarteg).
Setelah mengalami proses kajian dan evaluasi, akhirnya Pemerintah DKI Jakarta sepakat bahwa batas tidak kena pajak adalah pengusaha makanan dengan omzet kurang dari Rp 200 juta per tahun.
Angka itu di atas angka batas tidak kena pajak restoran yang berlaku di kota lain. Sebagai perbandingan, kata dia, Kota Surabaya dan Tangerang Selatan menerapkan pajak restoran dengan batas tidak kena pajak adalah yang beromzet kurang dari Rp 180 juta per tahun. Kota Bandung dan Depok, kata dia, juga memiliki batas tidak kena pajak yang lebih rendah dari Jakarta yaitu Rp 120 juta per tahun.
Iwan mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengapresiasi langkah pengusaha warteg yang berkeberatan dengan penerapan pajak restoran untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. “Itu langkah yang elegan dan bagus,” katanya. Dia menjelaskan fatwa MA bisa saja menggugurkan perda itu. “Yang kelas kami telah mengakomodasi perubahan batas tidak kena pajak itu,” katanya.
AMANDRA MUSTIKA MEGARANI