TEMPO.CO , Jakarta: Pemberlakuan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran menuai banyak kritik. Dalam perda itu, Pemerintah Provinsi Jakarta menjadikan warung Tegal sebagai obyek pajak. "Peraturan daerah ini tidak masuk akal," kata Sekretaris Jenderal Ikatan Keluarga Besar Tegal (IKBT) Arief Muktiono kemarin.
Menurut Arif, pekan lalu pengurus IKBT menerima surat edaran dari pemerintah pusat tentang pemberlakuan perda itu. Dalam edaran disebutkan, perda disahkan pada 28 Desember 2011 dan warteg dikenai pajak 10 persen.
Bersama pengusaha warteg, Arief berencana menggugat perda itu ke pengadilan. IKBT kemarin mendatangi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk berkonsultasi. "Kami enggak ingin pakai jalur demo," katanya.
Menurut Arief, warteg sebenarnya menjadi bagian dari jaring pengaman sosial. Pada saat massa mengalami krisis ekonomi, warteg bisa diandalkan untuk mengatasi pengangguran massal. "Jadi seharusnya warteg disubsidi, bukannya dipajaki," ujarnya.
Kepala Bidang Penanganan Kasus YLBHI Kiagus Ahmad mengatakan ada beberapa strategi advokasi yang bisa dilakukan untuk menolak perda. Tim YLBHI akan membahas masalah ini lebih lanjut untuk membantu pengusaha warteg. "Sebab, perda bukan hanya mengancam pengelola warteg, tapi juga konsumen," ujarnya.
Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia menilai pengenaan pajak terhadap warteg ini adalah sebuah kekeliruan. Sebab, pengelolaan warteg tidak sama dengan restoran besar yang sudah mapan. Cara penghitungan rugi-laba pun masih dilakukan secara tradisional. Ini pasti akan membuat bingung petugas pajak untuk menghitung omzet warteg.
Tulus khawatir, jika aturan ini dipaksakan, justru akan memicu kecurangan di lapangan. Dia lebih setuju pemerintah menunda pelaksanaan aturan itu sambil membantu melatih pengusaha agar lebih profesional dalam membuat pembukuan. "Harus diingat juga, warteg identik dengan masyarakat menengah ke bawah, jadi memiliki fungsi sosial yang berbeda dengan restoran," katanya.
Muhammad Sanusi, anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, juga mempertanyakan kebijakan pemerintah terkait dengan pajak warteg tersebut. Apalagi saat ini pemerintah belum memiliki data yang lengkap tentang jumlah warteg di Jakarta. "Mekanisme penarikan pajaknya seperti apa juga belum jelas," ucapnya.
Menurut Sanusi, pemerintah memang bertanggung jawab meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun langkah yang diambil tidak harus dengan menetapkan pajak baru yang justru membebani masyarakat. Dari pajak restoran dan hotel saja sebenarnya perolehan bisa sangat besar. Namun pemerintah kurang serius menggarap sektor ini.
Sejak 2010, kata Sanusi, pendataan pajak restoran dan hotel sudah masuk dalam sistem online. "Tapi baru 30 persen restoran dan hotel yang membayarkan pajaknya," ujarnya. Ketimbang menetapkan pajak warteg kepada rakyat kecil yang tak punya nomor pokok wajib pajak, lebih baik pemerintah Jakarta memaksimalkan pajak restoran dan hotel. "Terutama hotel bintang dua dan hotel kelas melati," katanya.
Ketua Badan Legislasi Daerah DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan revisi pajak restoran dan rumah makan sebenarnya telah disahkan sejak 2010. Dalam aturan itu diatur batas minimum pajak yang diterapkan kepada pengusaha restoran dan rumah makan. "Namun, setelah revisi perda diserahkan kepada Gubernur DKI, pajak tak serta-merta diterapkan," katanya.
Triwisaksana menegaskan, keputusan akhir menunjukkan pajak restoran dan rumah makan hanya dibebankan kepada pengusaha restoran dan rumah makan yang memiliki omzet di atas Rp 200 juta per tahun. "Tapi persoalan kapan diterapkannya, silakan tanya ke Dinas Pelayanan Pajak," ucapnya.
Hingga kemarin malam, Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta Iwan Setiawandi tidak bisa dimintai penjelasan. Dia tidak mengangkat telepon, meski berkali-kali dihubungi. Bahkan pesan pendek yang dikirim tidak dibalas.
Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo membantah adanya pajak warteg yang dibebankan kepada masyarakat. "Tidak ada yang namanya pajak warteg," ujarnya. Dia mengatakan pajak yang dimaksud adalah revisi perda pajak restoran dan rumah makan. "Bukan cuma warteg yang kena pajak ini, tapi rumah makan Padang juga bisa kena kalau omzetnya mencapai Rp 200 juta per tahun," kata Fauzi.
Menurut dia, pengusaha restoran dan rumah makan yang memiliki omzet di bawah Rp 200 juta per tahun tidak dikenai pajak itu. "Jadi hitungannya bukan pajak warteg, tapi pajak restoran dan rumah makan," katanya. Persoalan teknis seperti penarikan pajak atau pendataan rumah makan yang terkena pajak ini, kata dia, ditangani langsung oleh Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta.
ISTMAN MP | AMANDRA MUSTIKA MEGARANI | SYAILENDRA | SUSENO