TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Amerika Serikat berniat menjalin kerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk mengembangkan salah satu energi baru, yaitu shale gas atau gas alam yang ada di batuan dangkal. Wakil Menteri Energi Amerika Serikat, David Sandalow, menyatakan pengembangan shale gas memerlukan waktu dan proses yang tidak singkat serta teknologi tinggi.
Belajar dari pengalaman negaranya sekitar 5-6 tahun lalu belum banyak yang mengetahui dan memanfaatkan potensi dari gas tersebut. Tapi saat ini shale gas sudah menyumbang 30 persen produksi gas Amerika. "Diproyeksikan akan berkembang menjadi 49 persen di 2035," ujarnya, kemarin.
Dengan produksi gas Amerika yang melimpah ini harga gas di pasar menjadi lebih terjangkau. Saat ini rata-rata harga gas di Amerika berada di bawah harga pasar, yaitu sekitar US$ 3 per juta british thermal unit (MBTU). "Harga itu tanpa subsidi dari pemerintah."
Ia menilai pengembangan gas tersebut di Indonesia sangat memungkinkan selama ada kepastian peraturan dan iklim investasi. Shale gas merupakan hasil dari serpihan batuan shale atau tempat terbentuknya gas bumi.
Proses yang diperlukan untuk mengubah batuan shale menjadi gas membutuhkan waktu sekitar lima tahun. Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Indonesia memiliki sumber daya shale gas sebanyak 570 triliun kaki kubik (tcf).
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Evita Herawati Legowo, menjabarkan pertemuan kemarin adalah langkah pertama dan lebih pada proses pembelajaran Indonesia atas suksesnya pengelolaan shale gas di Amerika. Saat ini pemerintah sedang mengkaji hal tersebut, bahkan menjamin pergantian biaya produksi atau cost recovery hingga 100 persen selama memenuhi peraturan.
GUSTIDHA BUDIARTIE