TEMPO.CO , KABUL:-- Tahun 2011 menjadi tahun paling berdarah bagi Afganistan. Berdasarkan data Misi Bantuan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebanyak 3.021 warga sipil tewas dan 4.507 lainnya terluka akibat perang antara pasukan Sekutu dengan pemberontak Afganistan.
Jumlah ini meningkat 8 persen dibanding tahun sebelumnya dan tertinggi dalam lima tahun terakhir. “Selama satu dekade perang Afganistan, warga sipil yang tewas terus meningkat,” kata Georgette Gagnon, Direktur Hak Asasi Manusia Misi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Afganistan, akhir pekan lalu.
Taliban, menurut PBB, bertanggung jawab atas 77 persen kematian warga sipil. Sedangkan pasukan asing dan Afganistan menewaskan 14 persen lainnya, turun 4 persen dari tahun sebelumnya. Adapun 9 persen korban tewas belum diketahui penyebabnya.
Perubahan taktik Taliban dalam perang terhadap Sekutu menyebabkan meningkatnya jumlah korban tewas dari warga sipil. “Mereka terdesak oleh pasukan Sekutu dan pemerintah,” ujar Jan Kubis, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afganistan pada kesempatan yang sama.
Pihak pemberontak, menurut Kubis, menggunakan bom bunuh diri dan ranjau darat sebagai senjata utama. Kematian akibat serangan bom mencapai 450 orang, meningkat 80 persen dibanding 2010. Namun pembunuh terbesar warga sipil adalah ranjau darat, yang menewaskan 976 orang.
Padahal Taliban yang menerapkan hukum Islam secara ketat, mengharamkan penggunaan ranjau darat pada 1998. Sebab, senjata ini dapat membunuh tanpa pandang bulu, baik pasukan musuh maupun warga sipil. “Jadi mengapa mereka menggunakan senjata ini?” Kubis bertanya.
Pembunuhan berencana terhadap orang-orang pro-pemerintah Afganistan juga meningkat. Selama 2011, sebanyak 495 tokoh masyarakat tewas dibunuh Taliban. Salah satunya mantan Presiden Afganistan Burhanuddin Rabbani, yang tewas akibat serangan bom bunuh diri.
Situasi ini sangat mengkhawatirkan karena Badan Pertahanan Atlantik Utara (NATO) akan segera menarik pasukannya dari negara tersebut pada akhir 2014. Kubis mendesak semua pihak yang terlibat konflik melakukan langkah nyata untuk melindungi warga sipil Afganistan. “Apa yang sudah terjadi tidak cukup untuk melindungi warga sipil. Mereka harus berusaha lebih keras,” Kubis menegaskan.
| WASHINGTON POST | LOS ANGELES TIMES | REUTERS | VOA | SITA PLANASARI A.