TEMPO.CO, Jakarta - Melemahnya mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akibat data ekonomi Jepang dan Cina yang kurang bagus membebani rupiah. Turunnya aktivitas mesin di Jepang serta inflasi Cina yang melebihi ekspektasi membuat mata uang regional, termasuk rupiah, terdepresiasi.
Data order mesin utama Jepang turun 7,1 persen dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 14,8 persen. Juga lebih buruk dari perkiraan analis, yakni turun 4,8 persen. Data inflasi Cina bulan lalu mencapai 4,5 persen, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 4,1 persen, juga lebih besar dari perkiraan pasar 4,0 persen. Hal ini membuat bursa dan mata uang Asia mengalami pelemahan.
“Tumbuhnya optimisme investor bahwa Yunani akan segera mendapatkan bantuan karena mulai merealisasikan pengetatan anggaran mampu meredakan kecemasan di pasar,” ujar Tony Maryano, pengamat pasar uang dari PT Harvest Internasional.
Di pasar uang hari ini, Kamis, 9 Februari 2012, rupiah ditutup melemah 37 poin (0,41 persen) ke level 8.956 per dolar AS. Sebagian besar mata uang Asia sore ini melemah terhadap dolar AS. Won Korea Selatan turun 0,0250 menjadi 1.115,72 per dolar AS, ringgit Malaysia melemah 0,0055 poin ke 3,0085, serta baht Thailand juga terdepresiasi 0,06 poin ke 30,75 per dolar AS.
Tingginya inflasi Cina yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia serta penggerak ekonomi Asia membuat pasar berharap akan ada stimulus untuk mendorong pertumbuhan. Adanya harapan kucuran dana talangan Yunani mendorong apresiasi Yunani membuat pelemahan mata uang Asia juga terbatas.
Dari faktor domestik, pemangkasan suku bunga acuan BI rate 25 basis poin menjadi 5,75 persen sedikit membebani pergerakan rupiah, sehingga gagal merapat ke level 8.900 per dolar AS. Dalam jangka pendek, turunnya suku bunga negatif bagi rupiah, tapi untuk jangka panjang justru positif.
Rendahnya inflasi dan tetap tumbuhnya ekonomi domestik menjadi alasan bagi Bank Indonesia kembali menurunkan suku bunga patokannya. “Melambatnya pertumbuhan ekonomi global seiring dengan terjadinya krisis Eropa membuat kebijakan bank sentral saat ini lebih pro-pertumbuhan,” ucapnya.
VIVA B. KUSNANDAR