TEMPO.CO, Jakarta - Apresiasi rupiah kembali meredup setelah Bank Indonesia dalam Rapat Dewan Gubernur minggu lalu di luar perkiraan menurunkan suku bunga acuan BI Rate 25 basis points menjadi 5,75 persen.
Rendahnya inflasi serta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah melambatnya perekonomian global menjadi alasan bank sentral memangkas suku bunga untuk pertama kalinya pada 2012.
Jumat lalu, rupiah ditutup pada level 8.985 per dolar Amerika Serikat atau hanya melemah tipis 17 poin (0,19 persen) dari posisi pekan sebelumnya di 8.968 per dolar AS. Namun, akhir pekan lalu, rupiah sempat tertekan hingga ke level 9.050 per dolar AS seiring dengan jatuhnya harga saham di bursa domestik.
Pengamat pasar uang dari Bank Saudara, Rully Nova, mengatakan, imbas turunnya suku bunga BI Rate membuat selisih suku bunga rupiah dengan dolar AS kembali menipis. "Hal ini dimanfaatkan oleh para pelaku pasar kembali melakukan aksi ambil untung, sehingga rupiah mengalami tekanan," tuturnya.
Dengan dipangkasnya suku bunga BI Rate, imbal hasil di pasar obligasi juga akan cenderung turun, sehingga potensi keuntungan investor juga akan berkurang. Karena itu, mereka merasa investasi dalam mata uang rupiah menjadi kurang menarik.
Data ekonomi seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, serta suku bunga BI Rate yang sudah keluar membuat tren pergerakan rupiah akan dipengaruhi oleh faktor eksternal. Kondisi Eropa, terutama Yunani, yang masih berada dalam ketidakpastian, dapat mempengaruhi mata uang euro terhadap dolar AS. Meskipun sudah tercapai kesepakatan, drama dari Yunani belum juga berakhir.
Pekan ini rupiah diprediksi akan ditransaksikan di kisaran 8.900-9.100 per dolar AS. Bank sentral, yang akan tetap berada di pasar, membuat rupiah masih akan berada di kisaran 9.000 per dolar AS.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR